Jumat, 09 April 2010

SERPIHAN PERTAMA

Sepulang dari sekolah di SDN Ketapang I. Telaga kecil langsung berlari ke dapur untuk mencari nenek. Mbah Ni, biasa aku memanggilnya. Mbah Ni adalah orang yang sangat berjasa dalam sejarah kehidupan keluargaku. Meskipun beliau bukan nenek kandungku, tapi beliau sangat menyayangiku dan saudara-saudaraku seperti cucunya sendiri.
Mbah Ni seorang janda. Selama hidupnya beliau tidak memiliki anak. Namun selama ini, beliaulah yang mengasuh dan membesarkan ibuku. Sampai kini, kami cucu-cucunya yang mengisi hari-hari beliau dengan kenakalan kami.
Sejak kecil aku tinggal bersama Mbah Ni, di rumah beliau. Beliau bagaikan ibu kedua bagiku. Aku mengerti, mengingat kondisi orang tuaku yang sibuk dengan pekerjaannya. Mbah Ni sangat memanjakanku. Seperti waktu itu, setiap pulang dari sekolah beliaulah yang selalu merapikan baju seragam, sepatu, hingga tasku.
Senin siang itu, semuanya nampak berbeda.
Ketika aku berlari ke dapur untuk menghampirinya, ku dapati beliau tak sendirian. Mbah Ni sedang berbincang dengan seorang kakek. Mereka duduk di amben dapur dengan alas keloso (tikar dari daun kelapa). Ku lihat secangkir kopi hitam yang masih berasap dan beberapa potong kue di piring kecil.
Ah pasti tamunya Si Mbah.
Meski ku lihat ada orang asing yang nampaknya akan sedikit mengusik ritual ‘pulang sekolahku’, tapi aku tetap acuh dan menghampiri Mbah Ni dengan manja.
Diperkenalkanlah aku pada kakek itu.
“Ini putri Lasmi yang ke dua. Yang tinggal denganku”, tutur Mbah Ni sambil membantuku menyelesaikan ritual pulang sekolah.
Ku lihat kakek itu tersenyum ke arahku. Aku hanya diam.
~~~~~
Sejak senin itu, dan senin-senin selanjutnya. Kakek itu lebih sering terlihat berkunjung ke dapur rumah kami. Sesaat setelah berbincang, dia langsung pergi.
(Mbah Ni selalu ngasih uang ke kakek itu)
Tapi, baru ku lihat senyum sebahagia itu di wajah nenekku. Senyum yang mulai sering ku lihat, semenjak kakek itu injakkan kakinya di rumah kami.
~~~~~
Setelah beberapa minggu. Tak ku dapati lagi tamu asing itu di dapur rumah kami. Dan yang membuatku sedih, Mbah Ni seolah selalu menanti kehadirannya lagi. Nampak wajah gelisah itu tergurat jelas di wajahnya yang keriput termakan usia.
Apa karena perbincangan nenek dengan bunda waktu itu ya?
Tiga minggu sebelumnya, aku melihat bunda tengah berbincang dengan Mbah Ni.
“Sudah lah Budhe, nggak perlu sering-sering kasih uang ke dia. Nanti jadi ngelunjak. Sekarang tiap minggu jadi sering ke sini kan?” kata bunda.
“Enggak Las, Budhe ngasih cuma sekali kok. Setelah itu janji nggak akan kasih lagi. Hanya ngasih makan siang ajah, kasihan dia sebatang kara hidupnya”, kata Mbah Ni sedih.
“Iya aku minta maaf. Aku memang ndak pantas ngomong begini. Aku memang bukan anak kandung Budhe. Tapi aku tahu, aku merasakan bagaimana perjuangan Budhe untuk bertahan hidup dan membesarkan aku. Tapi laki-laki itu, dia yang selalu membuat kita miskin. Tiap hari gawenya judi, mabuk-mabukan, wadonan (main perempuan).” Bunda menangis.
Dan Mbah Ni pun menangis.
“iya tapi aku sudah memaafkan. Kami sudah sama-sama tua Las. Aku bersyukur punya kalian. Sedangkan dia sebatang kara…”
Diam.
~~~~~
Sebulan…..
Dua bulan…..
Belum ada kabar tentang kakek itu. Namun nenekku tetaplah nenekku. Kami tidak pernah lagi membahas tentang kakek itu. Senyum dan kasih nenekku tak pernah berkurang untukku, untuk kami.
Hingga sebulan kemudian….
~~~~~
Pagi itu aku libur sekolah. Aku ikut bunda pergi belanja ke melijo (tukang sayur keliling) langganan bunda. Waktu aku lagi asik-asik bermain telur asin yang ditaruh di dalam keranjang, ku lihat bunda, Yuk Mis (melijo), dan beberapa ibu-ibu lainnya yang sedang berbelanja tengah serius membicarakan sesuatu.
“Dek Las, tadi subuh waktu aku ke pasar, dapat kabar dari orang-orang. Katanya, di pasar ditemukan mayat seorang kakek-kakek yang sudah kaku di depan emperan toko.” Kata Yuk Mis dengan perasaan takut.
“Kata orang yang kenal, itu mantan suami Mbah Ni…” kata Yuk Mis terputus.
Bunda langsung menghentikan kegiatannya memilih sayuran.
“Yuk Mis, tolong simpan berita ini. Jangan sampai Mbah Ni tahu. Saya takut beliau sakit. Sampeyan kan tau, Mbah Ni punya sakit darah tinggi. Kalo beliau sampai tahu, saya kawatir akan menambah beban pikiran beliau”.
~~~~~
Terjawab sudah. Siapa sebenarnya kakek itu? Tamu asing itu? Hufh… dia mantan suami nenekku. Dan terjawab juga, ke mana ia selama ini. Ketiadaannya selama berbulan-bulan..
Dia telah mennggal. Di pasar. Di emperan toko. Mati membeku karena usianya yang renta, dikalahkan oleh dinginnya angin malam. Ajal telah menjemputnya.
Kehidupan ini akan selalu berakhir.
~~~~~
Rumah itu, kini telah rata dengan tanah. Rumah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. para tokoh yang berperan pun, telah kembali pada sisi Rabb-nya. Namun kisah itu dan kasih sayang mereka, akan selalu abadi dalam benakku

Dedicated to:
Almrh. Mbah Ni ^^, aku sayang kau selalu
Almrh. Bunda ^^, I miss u too


By : Telaga K