Jumat, 26 Februari 2010

DEPHUT MENJUAL HUTAN, Nenek Moyang Kapitalis Kegirangan

By : Tiaz, 31 juli 2009
(Kontribusi dari berbagai sumber)


LAGI Bro…, DEPHUT (Departemen Kehutanan) melakukan privatisasi kawasan hutan lindung, huaaahhh…. Kampring !!!! Dengan ringan tangan, DEPHUT dan para kroninya memberikan kawasan hutan lindung kepada 13 perusahaan tambang untuk melakukan penambangan tertutup di kawasan hutan lindung (swastanisasi… privatisasi… lageee… lageee…. Dan lageee).

“Privatisasi kawasan konservasi merupakan wajah pemerintahan yang menganut paham neo-liberal. Proses pelepasan kawasan hutan secara luas akan terus terjadi, sementara komunitas local/adat dipaksa menyingkir dari ruang kehidupannya.” – Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Saat ini Pemerintah melalui Dephut akan melakukan privatisasi beberapa kawasan Taman Nasional saperti TN Bromo Tengger-Semeru kepada Perusahaan Sumito-Jepang, TN Gunung Halimun-Salak kepada Bakrieland seluas 1000 Ha, TN Bukit Barisan Selatan kepada PT. Adi Niaga Kreanusa. Sebelumnya pemerintah juga telah menyerahkan sebagian kawasan TN Komodo kepada PT Putri Naga Komodo- yang sebagian sahamnya dimiliki oleh NGO dari Amerika Serikat, hal serupa juga terjadi pada TN Bali Barat, TN Kutai, dan taman nasional lainnya yang telah mendahului.

Ok, lah. Mungkin sebagian dari kita kadang ngerasa info ini gak penting. Toh gak ada hubungnnya dengan kehidupan ‘Gw’. Hayoo… ngakuu…!!!! Karena kita memang tidak merasakannya dan menjadi korban secara langsung. Tapi, dampak global yang akan ditimbulkan dari ulah Pemerintah dan Dephut ini tidaklah kecil. Dan pasti suatu saat akan kita rasakan.

Bagi masyarakat awam, makna dari kata “KONSERVASI” adalah berkonotasi positif. Pemerintah bekerja sama dengan swasta untuk mengelola hutan di Indonesia, mengembangkan, dan mencegahnya dari kerusakan global. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Konsep konservasi dalam benak Pemerintah, jauh lebih tepat jika kita sebut sebagai “wahana menjual asset Negara beserta isinya (hutan), demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya….”.

Iyalah, pemerintah kita sekarang kan menganut paham neo-liberal alias menjadi boneka kapitalis….. hweeehwehehe….. zewreeemmm…. Waspadalah… waspadalah…!!@#%$^&*@!
Pemerintah bersama swasta, melakukan pengelolaan hutan lindung menggunakan konsep/pendekatan ‘Konservasi Benteng’ (fortress conservation), yakni menempatkan masyarakat sebagai ANCAMAN terhadap uapaya konservasi. Sehingga jelas, dalam hal ini akses masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan secara tradisonal akan dibatasi, bahkan dilarang sama sekali.

“Di banyak Taman Nasional di Indonesia hak-hak rakyat untuk bebas bertumbuh kembang telah dihilangkan. Bahkan lebih dalam lagi, sebagian besar hak rakyat atas kebutuhan utama kehidupan meliputi pangan, pakaian, tempat tinggal, hingga kesehatan telah dicabut dengan sebuah sistim pengelolaan taman nasional di Indonesia yang mengikuti pola Negara utara, di mana taman nasional merupakan bagian yang STERIL dari manusia.”- Ade Fadli, Pengkampanye Hutan WALHI.

Lantas Bro… piyeee…??

Langkah apa dunk??? Berharap menunggu datangnya keadilan melalui UU? Itu mah, pahlawan kesiangan… SIAPA COBA YANG BIKIN UNDANG-UNDANG??? Pemerintah dan Departemen terkait, lantas siapa yang menjual hutan??? Orang yang sama…. Jadi bulshiiitttttt…..&%!#%*^%#$

Satu contoh, UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap kasus pelanggaran hutan, dan memang ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut KEPENTINGAN apa dan siapa yang ada pada saat itu.

Sektor kehutanan Indonesia tahun 2008 dibuka dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 pada Februari 2008 lalu. Peraturan yang mengatur tentang penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. PP tersebut membuka peluang pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun.

Gilaaaa….. edddyaaan…… $@%&%&!(!&#^! Pemerintah mau jualan gethuk apa jualan jemblem coba? 300 perak???? ……..

Lagee beeteee…..!!!!!! gara-gara pemerintah yang neo-liberal. Nggendhutin perutnya dhewe, gak mikirin nasib rakyatnya….

Akuuu… maooo…. Dinginkan kepala duluu…

Ehmmm setelah ngulas fakta dan realita, ntar kita akan bahas tentang, DIMANA KESALAHAN KONSEP PENGELOLAAN DARI PEMERINTAH, serta mencari solusi dari sudut pandang lain. Paszzzti zeeruuu…. Wkwkwkwkw ^_^

Otre… otreee…. Dapat wangsit neh, baca lageee yah.

Gini bro, setelah searching-2 dari berbagai sumber yang terpercaya dan pasti beneeerrr… ternyata… eh ternyataaa….
Problem utama dari pengelolaan hutan di Indonesia selama ini adalah pandangan yang menetapkan bahwa hutan adalah milik negara. Dengan cara pandang seperti ini maka negara merasa berhak untuk memberikan hak kepada siapa saja, untuk mengelola hutan dengan luasan yang tidak proporsional. Maka siapa yang dekat dengan lingkar kekuasaan negara akan berpeluang mendapatkan jatah yang besar. Sedangkan rakyat kecil yang hidup di sekitar hutan dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan, bahkan mereka bisa dipidanakan jika dianggap mengganggu operasional privatisasi oleh HPH (hak pengusahaan hutan).

Seharusnya pandangan terhadap kawasan hutan adalah sebagaimana pandangan terhadap sumber daya alam lainnya seperti mata air, sungai, danau, barang tambang, dan lainnya. Tidak boleh ada klaim eksklusif terhadap sumber daya alam tersebut. Rakyat mestinya berhak mendapat manfaat dari keberadaan sumber daya alam tersebut. Maka negara sebagai institusi resmi yang mengayomi rakyat harus memformulasikan suatu konsep agar pengelolaan hutan tidak hanya menjadi privilege (keistimewaan) beberapa gelintir orang saja seperti yang terjadi selama ini.

Kesalahan yang kedua dari pemerintahan kita terdapat pada sistim. Negara tidak berani keluar dari pola dan sistem kapitalisme yang selama ini menjadi basis pengaturan kehidupan bernegara. Dalam pengaturan pemanfaatan aset-aset sumber daya alam, kapitalisme mengaturnya dengan pola liberalisme. Pola ini menyatakan setiap individu memiliki kesempatan untuk mengusahakan segala potensi yang dianggap bisa menghasilkan keuntungan. Setiap orang kemudian berhak untuk saling berupaya menguasai dan mengusahakan apapun, dengan mekanisme pasar yang menjadi pola. Maka siapa yang kuat, bermodal besar, dan dekat dengan kekuasaan dialah yang paling mungkin untuk menguasai aset lebih banyak. Sementara yang bermodal kecil atau yang tidak bermodal, mereka harus menanggung dampak yang ditimbulkan. Dalam sistim ini berlaku prinsip survival the fittes (yang kuatlah yang bertahan).

Pola dasar pemikiran kapitalis menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan ketersediaan sumber daya di alam terbatas kapasitasnya. Oleh karena itu di dalam benak para pengikut kapitalis, terbentuk sikap serakah dalam mengeksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran. Demi memenuhi kebutuhan yang kata mereka tidak terbatas, namun hanya dengan mengeluarkan modal yang sedikit mungkin. Maka terciptalah hukum rimba dalam kehidupan kita saat ini, yang seharusnya hanya berlaku bagi kehidupan binatang.

Untuk menyelesikan masalah ini, maka harus ada perubahan mendasar dari pola pengelolaan hutan. Semua pokok permasalahan yang menimpa suatu Negara, solusi dalam penyelesaiannya tergantung pada system yang digunakan. Karena setiap system memiliki landasan pemikiran yang berbeda-beda. Penyelesaian yang benar datangnya dari system yang benar pula. Karena itu, sudah waktunya Indonesia meninggalkan system kapitalisme dan beralih pada system solutif dan mensejahterakan.
Yah.. selesai! Begitulah kira-kita. Kesimpulannya, nggak akan pernah ada kesehajteraan jika kita terapkan sistim yang salah…. Ya iyalah….
*&@%^%#@&*@(#@&(!!??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar