Kamis, 20 Mei 2010

Mr. P VS Mrs. V

Beberapa bungkus snack dari berbagai strata ‘elit’ -merek dan jenis-, mulai dari kacang-kacangan yang dijual murah, sampai ke permen cokelat rendah kalori berserakan tergeletak begitu saja, tak berirama. Dilengkapi dengan ceceran kaleng-kaleng kosong soft drink, mulai dari yang kandungan alkoholnya ‘nol persen’, sampai ke ‘yang mematikan’. Kepulan asap rokok sisa-sisa ‘tamu’ semalam, masih jelas terasa menyelimuti ruangan yang berlantai marmer itu. Kegetiran yang mencekam semakin jelas tergambar. Guratan sisa-sisa buih kopi hitam yang masih melekat dalam sepasang cangkir, tertimpa oleh putung dan abu rokok dengan posisi buang yang ‘memaksa’.
Seolah mereka ingin berteriak dan berdentum mengorasikan kejengahan yang terjadi selama ini. Dinding ruangan yang memancarkan pendar warna biru muda, seolah menyimpan tanya akan sejarah ‘miring’ yang terpendam. Atap kamar yang mulai memudar catnya, diselimuti oleh debu-debu halus pada setiap depa. Seolah ingin runtuh tak kuasa menahan perih akan sebuah peradaban yang mulai lengser dimakan keangkuhan. Sebagai akibat dari terkikisnya arti sebuah kebenaran. Dengan alasan modernisme, ‘komoditi’, serta sebuah investasi kolosal.
Semua tersirat dengan sangat gamblangnya, jika saja kita mau membuka mata, telinga, hati, dan ‘berfikir’.
Kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, kejujuran dan kesaksian yang kan terucap. Kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, tabir kemunafikan dan keangkuhan akan terkuak. Dan kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, maka takkan ada alasan modernisme, komoditi, dan investasi manipulatif yang mereka jadikan kiblat dan pedoman kenistaan penyebab runtuhnya masa depan umat.
Di tengah malam yang dingin dan mencekam, ‘sepasang’ ini tertunduk dalam kesesakan peliknya dunia. Mereka protes dengan sikap dan tingkah pemiliknya masing-masing. Mungkin kesadaran yang telah membawa mereka untuk bangkit. Mungkin juga karena kejengahan akan aktifitas yang monoton, yang membuat mereka berkoar menuntut keadilan. Tapi semoga saja alasan pertama yang membuat ‘sepasang’ ini terbangun dari mimpi dan angan gelapnya yang sangat manipulatif bagi masa depan.
Mrs. V menggeliat terjaga dari tidurnya. Ruangan yang penat membuat ia tak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak. Suasana ruang kamar yang pengap, karena desakan asap rokok yang berputar terbawa sirkulasi AC, seolah menggurat dalam tiap tarikan napasnya.
“Ahhh… dasar perempuan gila. Nggak waras! Edhan...!! Wadhon ora weru adat, ora nduwe rego!!!”, teriak Mrs. V pada pemiliknya.
Mrs. V diam sejenak, merenung, dan berpikir.
“Tapi… sebenarnya yang dikasih harga jual itu ‘aku’ atau dia ya? Kalau di pikir-pikir… selama ini aku yang dieksploitasi untuk diperdagangkan. Sementara dia, cuma ongkang-ongkang kaki menerima uang pembayaran hasil dari kerja kerasku!”, pekik Mrs, V kesal.
Mendengar umpatan Mrs. V yang diucapkan secara bertubi-tubi tersebut, membuat Mr. P ikut terjaga dari tidurnya yang nampak tidak terlalu peduli dengan suasana kamar.
“Huahh…”, Mr. P menguap sambil menggeliat, untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
“Huh…”, cibir Mrs. V yang melihat Mr. P ikut terbangun.
Sepasang itu saling terdiam sejenak. Suasana kamar yang terkesan jorok dan kotor, membuat masing-masing dari mereka semakin jengah.
“Puas kau sudah mengambil segalanya???”, tanya Mrs. V dengan nada tinggi, berusaha membuka pembicaraan dengan Mr. P yang hanya duduk terdiam disampingnya.
“Hah… aneh sekali sampeyan ini Yuk…? Tadi aku dengar sampeyan mengumpat, mencibir pemilik sampeyan yang… ayu itu…!”, timpal Mr. P menggoda, sambil memperhatikan wajah majikan Mrs. V yang masih terbuai dengan mimpinya.
“Lha kok sekarang jadi salahin aku toh? Piye sampeyan itu?”, lanjut Mr. P.
“Ah… nggak tahulah. Pokoknya kalian berdua memang patut disalahkan. Karena kalian, aku jadi kehilangan kesucianku sebagai makhluk ciptaan Allah yang patut dan wajib dijaga serta dilindungi hak-hak sesuai ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan, sebagai cermin dari peradaban bangsa dan umat yang beradap! Aku juga telah kehilangan harga diri dan masa depanku!”, Mrs. V berkoar dengan nada yang meluap-luap.
“Hah…???? Kok tumben bisa ngomong se-diplomatis itu? Biasanya cuma tahu gimana caranya melakukan transaksi yang menguntungkan dan pintar-pintarnya tawar-menawar harga dengan ‘konsumen’!”, timpal Mr. P dengan datar.
“Jadi kalian-‘kaum buaya’-pikir, aku dan makhluk sebangsaku ini bisanya hanya bertransaksi syahwat dengan golongan kalian???? Asal kalian tahu, sekarang memang susah mengajukan gugatan ke pengadilan. Bahkan memang nggak mungkin aku lakukan, percuma. Nanti malah kaumku yang dipenjarakan dengan dalih kami sebagai makhluk kotor ‘penggugah syahwat’ bagi kaum kalian. Karena kalian punya uang, karena kalian punya kekuasaan, dan karena kalian punya kekuatan, yang akan menopang segala bentuk kesalahan kalian di mata hukum. Tapi nanti di akhirat, di pengadilan Allah, kalian pasti tidak akan bisa ngelak! Titik!!!”, jawab Mrs. V ketus.
“Lha… apalagi itu??? Tak cukup mengumpat, sekarang membahas masalah hukum dan keadilan! Pakek bawa-bawa Allah segala! Bukankah ini semua sudah menjadi pilihan Sampeyan, memilih menjual diri sebagai profesi? Iya toh? Bahkan kalian sendiri yang memberikan tawaran harga miring kepada kami, tak jarang juga ‘gratisan’, walaupun kami tidak sedang membutuhkan! Kalau sudah begini siapa yang salah?”, balas Mr. P dengan geram.
Mereka terdiam sejenak, dan nampak terlihat tengah menarik napas panjang masing-masing. Berusaha mencoba memburu oksigen bersih yang masih tersisa, namun tak kunjung jua dapat. Kini yang ada hanya aroma alkohol dan asap rokok, nggak pernah lengser dari daftar umpatan di hati mereka masing-masing.
Entah apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Tak selang beberapa lama, Mr. P melihat guratan kesedihan dan keputusasaan dalam wajah Mrs. V.
“Oalah Yuk… kok pakek acara nangis segala? Aduhh Gusti… kepriye iki? Yuuukk… aku minta maaf kalau mungkin kata-kataku tadi menyakiti hati Sampeyan”, ungkap Mr. P mengibah.
“A… aku… huuukhh.. huukkhh…”, Mrs. V terisak dalam tangisnya yang semakin menjadi.
“A.. a…ak..ku.. bingung harus gimana lagi? Dari tadi Sampeyan menyalahkan aku. Padahal aku ini ndak tahu apa-apa. Aku cuma sekedar mengikuti perintah majikan, dia yang mengendalikan semuanya. Aku ini hanya makhluk lemah yang ditakdirkan untuk mengikuti pemilikku, kemana pun dia melangkah! Aku yang bekerja, dia yang menerima upah! Aku dijadikan komoditi, dieksploitasi habis-habisan, digunakan sebagai investasi ‘masa depan’ katanya, sebagai ganjal perut katanya!”, ungkap Mrs. V masih dengan isak tangisnya yang tak kunjung redah.
“Maaf Yukkk… aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya tidak terima jika selama ini kaumku selalu disalahkan dalam hal ini. Mereka berasumsi bahwa kaumku adalah ‘penjahat cinta’ yang bisanya cuma memanipulasi dan memperdaya kaum kalian. Padahal kami tidak akan berbuat nista jika tidak ada faktor penyebabnya! Kaum kami juga sama halnya dengan kaum Sampeyan. Lemah dan tak lepas dari dosa. Tapi hati ini juga lama-lama akan rapuh jika terus-menerus digerogoti dan diiming-imingi dengan sesuatu yang…”, Mr. P tak dapat melanjutkan spekulasinya, takut akan menimbulkan masalah kembali.
“Kenapa? Apa penyebabnya? Kenapa ndak di lanjutin? Aku ingin tahu!”, desak Mrs. V.
“Lihatlah diluar sana. Banyak mereka dari kaummu yang ‘bertelanjang muka’ memamerkan aurat. Entah mereka sadari atau tidak, kalau perbuatan mereka itu dapat menimbulkan dilema yang berkepanjangan, khususnya bagi masa depan generasi muda. Entahlah siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Mereka lakukan semua itu dengan alasan ‘perut’ dan menyambung hidup. Sementara kami, karena ada kesempatan dan tawaran, tak menutup kemungkinan kami pun terjerat! Aahh… tak tahulah Yukk…”, Mr. P mengisap dalam-dalam sisa rokok yang masih diapit kuat oleh kedua jari tangan kanannya.
“Uhhh…”, Mrs. V menarik napas panjang, namun serasa sesak.
“Yaampun… Sampeyan itu mbok ya kira-kira. Udah tahu ini kamar ber-AC malah hisap rokok seenak udhel-nya!”, cibir Mrs. V kesal.
Tanpa berkomentar, Mr. P langsung mematikan rokoknya.
“Maaf Yukkk… saya kalau sedang frustasi suka nggak kontrol kalau sama rokok!”
“Ahhh… capek aku Bang! Sampai kapan aku dieksploitasi seperti ini? Dikomersilkan? Padahal, seharusnya keberadaanku ini sangat dimuliakan. Tanpa adanya aku, takkan ada generasi muda yang lahir. Tanpa adanya aku, takkan ada tempat untuk kaum Sampeyan bersandar melepas lelah! Kenapa perut jadi alasan? Sebenarnya hidup itu untuk makan, apa makan untuk hidup sih?”
“Ha…ha…ha…”, Mr. P tertawa terbahak mendengar keluhan Mrs. V.
“Nah lho malah ketawa! Aku ini serius Bang! Capek lama-lama kayak gini. Hidup nggak menentu. Masa depan nggak jelas. Alah aku lama-lama jadi jengah juga sama janji-janji pemerintah kita!!!”
“Lho apa hubungannya dengan pemerintahan kita?”, tanya Mr. P heran.
“Iya.. pemilu yang lalu aku memilih dia sebagai presiden, karena aku percaya dan yakin akan janji-jajinya saat kampanye. Berharap agar aku bisa bebas dan tidak diperbudak seperti ini. Bisa makan dan menikmati hidup tanpa perlu menjual diri. Sejahteralah pokoknya. Tapi mana??? Sampai masa jabatannya hampir habis juga nggak kunjung terealisasi. Yang ada mereka dan para antek-anteknya malah ikut menikmati uang hasil kerja kerasku.”
“Lho kok bisa Yukk?”, Tanya Mr. P penasaran.
“Lha iya. Apa Sampeyan pikir kami ini tidak ditarik pajak apa? Nggak ada yang gratis di dunia ini! Begitu kata kapitalisme.”
“Ooo… begitu ya? Aku ndak tahu! Tak pikir selama ini..”, Mr. P tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
”Sudah lah Yuk, ndak usah diambil pusing. Kita ini hidup cuma sekali, jangan dibikin susah. Jalani saja apa adanya. Toh selama ini Sampeyan juga menikmati pekerjaan ini kan? Ndak usah sungkan, tadi sudah terbukti kan sama aku?”, ungkap Mr. P mencoba menggoda Mrs. V yang nampak jengah.
“Dasar ‘kucing garong’!”, timpal Mrs. V dengan sewot.
Sepasang ini masih larut dalam keterpurukan dan dilemma kehidupan masing-masing. Kamar yang pengap ini, menjadi saksi bisu perjalanan mereka dalam menyelesaikan permainan kehidupan.
“Yuk, sebentar lagi kan Pemilu akan berlangsung lagi, apa harapan Sampeyan kedepan?”, Mr. P berusaha membuka percakapan.
“Harapan??? Cuihhh… gombal! Masak iya makhluk seperti kita masih punya kesempatan untuk menaruh harapan? Jangan-jangan, hanya sekedar harapan, tanpa ada kelanjutan real-nya?”, tungkas Mrs. V sinis.
“Ya… siapa tahu di Negara ‘Kelinci’ tempat kita dilahirkan, hidup, dan mungkin sampai mati ini, akan terjadi perubahan dan akan membebaskan kita dari belenggu kebobrokan ini?” seru Mr. P.
“Nggak akan pernah berubah menjadi lebih baik, jika sistemnya tidak diganti! Titik!”, sergah Mrs. V.
“Nah lho, apalagi itu Yuk… memangnya kenapa dengan system di Negara kita? Bukankah Negara ‘Kelinci’ kita tercinta ini merupakan Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak dan suara rakyat? Kurang apa lagi coba? Kalau system diganti lagi, nanti yang ada malah kacau kayak masa sebelum reformasi itu? Lagi pula mau diganti dengan apa? Aneh-aneh saja Sampeyan ini!”
“Demokrasi apa? Bulshittt dengan demokrasi! Suara rakyat yang mana? Rakyat yang berkantong tebal? Pejabat ahli korup? Pemimpin yang cuma sebagai simbolisme semata? Gak ada bedanya dengan Hittler doonk! Apa aku ini bukan rakyat? Sudah berapa kali aku teriak menuntut kebebasan, tapi tak digubris? Apa ini yang dinamakan demokrasi? Yang ada aku malu sendiri malah. Coba pikir. Kita ini sudah enam puluh tiga tahun merdeka, tapi masih juga berteriak meminta kebebasan? Lalu apa makna merdeka waktu itu? Jangan-jangan merdeka untuk kapitalisme?”, bantah Mts. V dengan meluap-luap.
“Ya sudah aku ngalah. Lha terus maunya gimana?”, lanjut Mr. P.
“Masak kita kalah dengan Negara tetangga? Padahal kita berjuang bersama-sama. Mulai dari nol. Tapi apa hasilnya? Kita malah tertinggal jauh. Aku ingin Negara ‘Kelinci’ ini seperti Negara tetangga kita, ‘Negara Pembebasan’. Dia telah berani mengambil langkah untuk keluar dari keterpurukan dan belenggu kemiskinan yang menjerat. Masalah yang mereka hadapi tidak jauh beda dengan masalah yang menimpa Negara kita. Lalu kenapa kita tidak mau bergabung dengan mereka dan Negara-negara islam yang lain?”, berontak Mrs. V.
“Negara Pembebasan??? Kok Sampeyan ambil Negara itu sebagai contoh dan perbandingan dengan Negara kita? Ya jauh lah!”, tungkas Mr. P.
“Nah karena itu aku mau tanya. Kenapa mereka bisa bangkit, sedangkan kita tidak bisa? Mereka berani bersuara, kenapa Negara kita tidak? Ada apa dengan rakyat dan pemimpin kita?”
“Ahh.. kenapa ya? Aku nggak tahu banyak tentang politik Yuk…”
“Seperti yang aku ungkapkan tadi. Ini masalah system. Negara Pembebasan dulu juga pernah menerapkan system demokrasi seperti Negara kita saat ini. Tapi apa, sama dengan kita, nggak ada kemajuan. Yang ada malah mereka semakin terpuruk, korupsi dimana-mana, hutang bertambah, dengan dalih bantuan luar negeri, kemiskinan meningkat, dan para wanitanya dieksploitasi, entah sebagai TKW atapun sebagai… pelacur seperti majikanku dengan memanfaatkan keberadaanku. Tapi kini, mereka berhasil bangkit dan lahir kembali, berani melawan kebathilan, menginginkan system yang mereka anut dirombak dan diganti sepenuhnya.”
“Memangnya sekarang Negara Impian menganut system apa Yuk?”, tanya Mr. P semakin penasaran.
“Olalah… kok Sampeyan ini ‘lola’ banget sih? Makanya ikuti perkembangan dunia, jangan cuma memuaskan syahwat saja! Kalau sudah kayak gini? Apa ndak malu? ‘Big Bos’ seperti Sampeyan, dikalahkan oleh ‘pelacur’ seperti aku.”
“Bukan aku yang Big Bos, tapi tuanku!”, geram Mr. P.
“Aku ini ndak pernah dikasih jejelan yang kayak ‘gitu-gitu’ sama tuanku yang bejat ini. Dia tahunya hanya urusi masalah-masalah kayak ‘yang nggak penting-penting getu’. Tuanku tahunya cuma, tanda tangan di selembar kertas, dapat uang, foya-foya, dan ‘jajan’ seperti saat ini, sampe bisa ketemu Sampeyan. Udah jelasin aja apa maksudnya tadi??? Biar tuanku yang bodoh, tapi aku ndak mau ikut bodoh!”, papar Mr. P.
“Pantesan, ngomong aja nggak beraturan gitu! Kayak orang ndak pernah sekolah! Yaudah aku jelasin, Negara Pembebasan beserta Negara-negara islam lainnya, kini sedang berjuang untuk kembali kepada syariat islam. Mereka gunakan hukum Allah sebagai basis dalam membangun peradaban. Mereka melanjutkan kehidupan dengan system syariat, bukan undang-undang pidana dan perdata turunan kolonialisme yang terbukti malah merugikan masyarakat!”, tegas Mrs. V.
“Melanjutkan kehidupan syariat? Apa itu Yukk??? Aku baru dengar sekarang?”, Tanya Mr. P dengan bingung.
“Okey aku jelasin biar mata Sampeyan terbuka. Bisa diartikan sebagai satu-satunya system politik islam yang sah. Merupakan pemerintahan berdasarkan pada hukum Syari’ah (Islam) dan dijalankan melalui kepemimpinan yang dipilih oleh umat islam. Hanya ada satu pemerintahan islam yang berdiri di seluruh dunia. Dan menegakkannya adalah kewajiban bagi seluruh umat islam. Ingat WAJIBBB!!!! Inilah sebenar-benarnya system, bukan demokrasi yang dijalankan oleh Negara ‘Kelinci’ kita saat ini!”
“Tidak akan ada wanita dan anak-anak yang tertindas. Tak perlu lagi kita bentuk gerakan feminisme, mengorasikan emansipasi wanita. Karena dalam islam wanita sangat dimuliakan dan dijaga kesuciannya. Tidak akan ada lagi yang ‘bertelanjang muka’ seperti yang Sampeyan keluhkan tadi. Karena di dalam islam, cara berpakaian pun ditentukan, diatur, ndak sembarangan lho! Tidak akan ada lagi korupsi, tidak ada lagi perzinahan, tidak ada lagi eksploitasi, dan tidak ada lagi kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berdampingan. Tidak ada perselisihan antar pemeluk agama, suku, dan ras. Karena islam identik dengan keberagaman dan sangat fleksibel. Lalu kenapa Negara ‘Kelinci’ kita ini tidak dapat seperti mereka?”, lanjut Mrs. V.
“Membentuk Negara islam? Mustahil Yukkk!! Jangan mengada-ada. Negara Impian saja mendeklarasikan lima agama sekaligus. Lalu bagaimana bisa? Bagaimana nasib pemeluk agama selain islam? Dipaksa masuk islam begitu? Melangar HAM donk!”, bantah Mr. P.
“Tadi sudah saya bilang. Islam indentik dengan keberagaman!!! Dalam hal ini, mereka yang “menerima” konsep system pemerintahan syariat tidak serta merta membuat mereka wajib berkomitmen secara penuh ataupun menyetujui seluruh argumentasi syariah -yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist- untuk memperjuangkan Negara syariat tersebut. Karena argumentasi syariah hanya berlaku untuk umat Islam dan tidak berlaku bagi non-muslim. Mereka bisa memilih sikap pasif terhadap islam -dalam hal ini adalah tidak perlu berkomitmen pada konsep yang mendasari dan menjadi tujuan pendirian Negara syariat itu sendiri!”, Mrs. V mengehala napas panjang.
“Dan hukum islam sendiri bersifat dualistic, terdiri atas hukum public -setiap orang harus mematuhi-dan hukum komunal-memberikan otonomi kepada masyarakat yang berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada hukum yang berlaku di dalam agamanya”, lanjutnya.
“Wahhh… berat Yukkk…! Resikonya besar. Kita tidak sanggup menerima dampak yang akan terjadi. Sangat mungkin jika Negara kita akan diembargo (blockade) baik secara ekonomi, politik, maupun pemikiran oleh Negara lain, seperti yang terjadi di Negara tetangga itu dan Negara-negara islam saat ini. Selain itu, perang fisik juga takkan terelakkan lagi!”, tungkas Mr. P dengan nada kawatir.
“Memang!!! Karena berdirinya syariat islam merupakan awal dari kehancuran kapitalisme modern-yang membuat kehidupan kita nggak jelas kayak sekarang-yang diusung oleh barat karena menguntungkan mereka. Hal ini akan menimbulkan berbagai macam perlawanan dari mereka beserta ‘antek-anteknya’ seperti yang Sampeyan sebutkan tadi. Bisa dibayangkan, bahwa mereka akan membuat pakta militer untuk menghancurkan syariat, tanpa melihat lagi keagenan mereka. Apakah menjadi agen Negara A atau Negara B. Dan yang paling ekstrim yang sangat mungkin akan terjadi yakni, mereka akan menggunakan apa yang disebut sebagai PBB untuk mengeluarkan Resolusi agar bisa mengumpulkan berbagai Negara guna memerangi system syariat ini. Tuduhannya bisa macam-macam. Bisa jadi mereka menyatakan tuduhan kita mengancam perdamaian dan keamanan dunia, menurut versi mereka. Yaaa… semacam isu perkumpulan Negara ‘terorisme’ gitu. Gila nggak???”, papar Mrs. V.
Mr. P hanya bisa menelan ludah mendengar semua penuturan yang diucapkan oleh Mrs. V. Dalam benaknya dia berfikir, perang dunia ketiga akan terjadi.
“Negara tetangga berhasil melewati semua itu. Kenapa kita tidak? Allah selalu bersama orang-orang yang berjuang di jalannya. Kenapa harus takut kelaparan? Bukankah kekayaan alam kita begitu berlimpah? Dalam system islam, semua kekayaan alam merupakan milik publik, bukan milik pribadi seperti saat ini. Aku ingin merdeka, aku ingin bebas!!!!”, teriak Mrs. V yang jengah melihat Mr. P hanya terdiam.
“Benarkah Yukkk??? Apakah ini yang dinamakan berjihad di jalan Allah. Memperjuangkan kemerdekaan umat dan mengembalikan kepada syariah? Lalu… kenapa pemerintahan kita tidak mau bergabung? Padahal mayoritas Negara kita, adalah muslim”, tanya Mr. P dengan ragu.
“Benar itu. Seandainya aku bisa lepas dari belengu pemilikku ini, aku akan ikut berjihad bersama mereka. Tapi… aku Cuma budak bagi pemilikku!”, lanjut Mrs. V dengan lemah.
“Oalah… Yukkk… kok Sampeyan malah jadi puus asa begitu? Ayo semangatttt!!!! MERDEKA!!!! Ehhh salah…Allahhu Akbar…!”, teriak Mr. P.
Belum sempat mereka wujudkan harapan dan salurkan hasrat yang menggelora untuk menuju masa depan, fakta berkata lain. Matahari yang mulai menyelinap dari celah-celah korden, seolah memberi harapan esok yang cerah, masa depan yang indah, kehidupan yang sejahtera, bak menguap olah teriknya sang surya.
Pemilik Mr. P menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Dia bersandar di tempat tidur untuk menenggak alcohol yang masih tersisa.
Sementara di sisi lain, pemilik Mrs. V bergegas menuju kamar mandi. Ia pikir itu merupakan jalan membersihkan diri dari nista semalam. Hapuskan idealisme yang membelenggu, menurut pemikirannya.
Mimpi hanyalah mimpi. Harapan tinggal harapan. Jika hanya satu orang yang berkehendak, sementara seribu yang lain bersikap pesimis dan skeptis, maka mimpi dan harapan takkan pernah terwujud.
Mrs. V dan Mr. P hanyalah satu diantara sekian banyak makhluk yang membutuhkan dukungan dan keyakinan dalam membangun sebuah peradaban. Apalah arti kemerdekaan bagi mereka, jika nasib dan kehidupan tak kunjung berubah menuju arah yang lebih baik. Mereka hanya kaum yang mengikuti perintah dan permintaan pemiliknya. Mereka tak punya hak untuk menolak apalagi mengambil sebuah keputusan untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Mereka hanya satu dari sekian banyak bentuk penolakan. Namun apalah daya jika manusianya tak mau berjalan menuju arah yang terang dan mengoarkan kebenaran. Tidak malukah kita terhadap Mr. P dan Mrs. V? Mereka bukan siapa-siapa, tapi mereka masih mau bersusah payah untuk berpikir dan bersuara. Sebagai manusia, makhluk yang paling sempurna? Kemana kita selama ini? Kaum yang kuat dan berkuasalah yang akan menjadi diktator dalam kehidupan, yang sarat akan demokrasi dan kebebasan tak terkontrol ini. Negara ‘Kelinci’ hanyalah satu dari sekian banyak Negara yang bungkam terhadap kebenaran. Karena mereka takut akan embargo dan ancaman perang dari penguasa kafir adidaya. Kita hanya ‘boneka’ bagi mereka penguasa rezim kapitalisme.
Mr. P kembali menjalani kehidupannya sebagai seorang penjelajah syahwat. Mrs. V masih setia dengan majikannya dalam bertransaksi mencari sebulir nasi. Dan Negara ‘Kelinci’ yang mereka tempati ini, tetap akan menyambut pemilu mendatang beserta janji-janji manis yang melenakan telinga, sekedar untuk menghibur diri, mengenang jasa, mencari suara. Setelah itu, semua akan kembali seperti semula. Korupsi tetap berjalan. Eksploitasi terus berlanjut. Janji palsu terus bergulir. Dengan alasan demokrasi dan manivestasi diri.
~ ~ ~ ~ ~

Kerinduan Jully

20 Mei 2007
“ JIKA KAMU BERBUAT BAIK
BERARTI KAMU BERBUAT BAIK KEPADA DIRIMU SENDIRI,
DAN JIKA KAMU BERBUAT JAHAT
MAKA KEJAHATAN ITU BAGI DIRIMU SENDIRI “
(AL-ISRA’ : 7)

Malam ini benar-benar berbeda buatku. Bukan tanpa sebab, kalau tiba-tiba aku duduk termenung sambil menikmati hamparan cahaya bintang, yang beriringan dengan malam purnama. Hal yang aku sadari tidak pernah terjadi selama empat tahun terakhir. Sudah tidak ada lagi air mata yang keluar dari kedua pangkal mataku. Bukan karena telah mengering, namun memang sudah tidak layak lagi aku meneteskannya hanya untuk hilangnya sebuah bintang. Yang memang bukan menjadi milikku. Sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan ini.
Aku jemu.
Mata ini masih enggan terpejam.
Setiba dari Bandung, tanpa ku harapkan bertemu dengan Jo -masa laluku yang muncul kembali- di sebuah bengkel tempat ia bekerja selama ini. Aku tidak mengira kalau dia akan menghabiskan masa mudanya di sini. “Kota Lumpur” tempat aku dibesarkan, kota tempat aku pertama kali belajar merasakan indahnya cinta pertama sekaligus patah hati pertamaku.
Konyol memang, untuk ukuran remaja SMA yang baru beranjak dewasa dan baru akan belajar mengenal kehidupan yang sesungguhnya.
“Jully San? Kamu Jully kan?”, Dia memandangku dengan menyelidik, berusaha mencari pembenaran akan apa yang ia lihat.
“Eh.., oh.., Miki…??”
Aku terkejut melihat dia lagi. Masih tetap dengan wajah innocent-nya. Wajahnya yang bulat dengan pipinya yang kini agak lebih gembul, tetap terlihat menyenangkan. Mengenakan pakaian kerja yang penuh dengan oli. Namun tetap tersenyum dengan aktivitasnya.
“Ternyata Miki masih ingat sama Jully ya?!”, Aku mundur selangkah untuk menjaga jarak kami yang terlampau dekat.
Kami diam beberapa saat. Aku merasakan kesunyian yang sangat, diantara kebisingan gemuruh pencuci mobil, suara las, serta celoteh para pekerja bengkel yang saling melontarkan gurauan.
Kenapa harus sekarang Rabb. Aku tidak siap akan apa yang selanjutnya.
Dia hanya menatapku lekat, tanpa berucap sepatah katapun.
“Wah…, kamu banyak berubah ya sekarang? Sudah… sudah…!”
Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang seketika berubah menjadi perasaan bersalah. Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang terputus.
Aku hanya melemparkan senyum ramah padanya.
“Kamu… sudah berjilbab sekarang!”, lanjut Miki dengan tenang.
“Alhamdulilah…, Allah memberikan jalan-Nya untukku!”
“Oh ya, aku hampir lupa!”, Nada bicaranya sontak menunjukkan keterkejutan.
“Ada apa?”, tanyaku memburu.
“Beberapa waktu yang lalu saat aku pulang ke Surabaya, aku bertemu dengan Syafrie, Bintang pujaan hatimu itu. Dia nanyain kamu lho. Dia bilang, kamu sekarang sudah nggak pernah hubungi dia lagi ya? Terus dia juga titip pesan, kalau aku bertemu atau tahu keberadaanmu, dia berharap agar kamu mau menghubungi dia lagi. Walaupun itu hanya sekedar telfon dan tanya kabar. Kalau kamu tahu…?”
Aku tidak dapat berfikir dan merasakan lagi, semuanya hampa dalam pandanganku. Mendengar nama itu disebut, rasanya semua kerja kerasku selama ini untuk menghapus dia dari hidupku, sia-sia.
“Aahh, ya, begitu ya rupanya?”
“Gimana dia sekarang? Kelihatannya sudah bahagia ya?”, aku hanya bisa tersenyum padanya.
“Ah… itu.. karena Yoe..-“, Untuk kesekian kali dia tidak melanjutkan ucapannya.
“Iya semenjak aku kuliah di Bandung, aku tidak pernah menghubungi dia. Karena aku pikir itu tidak perlu!”
Rabb, aku mengatakan tidak perlu. Padahal dalam dada ini, aku merasakan adanya penyesalan. Rabb berilah aku kekuatan.
“Lho kenapa tidak perlu? Padahal dulu, kalian sangat dekat. Ya walaupun hanya sebatas teman telfon, bahkan aku sempat iri liat kedekatan kalian. Sudah seperti…, pacaran! Padahal, kalian hanya sebatas sahabat?? He…he…he…!”
“Eh, Jully…”, Lanjut dia.
“Ya..?”
“Asal kamu tahu. Selama empat tahun terakhir semenjak kepergian kamu yang tanpa jejak itu, dia tidak ada putus asanya mencari tahu tentang keberadaan kamu. Bahkan dia masih berharap suatu saat nanti kamu akan telfon dia lagi, seperti… dulu!”
Apa yang dikatakan Miki benar adanya. Aku pergi meninggalkan semuanya.
“Iya, tapi itukan dulu. Dan sekarang sepertinya, hal itu tidak akan terjadi lagi!”, Aku hanya menjawab dengan datar pertanyaan Miki, dan aku pikir hal itu tidak perlu dipertanyakan pada keadaanku yang saat ini.
Begitulah kami berpisah, mungkin jawabanku telah mengecewakan Miki-entahlah aku tidak tahu pasti apa yang ada dalam benak orang lain, termasuk dia. Tapi aku tahu, inilah yang terbaik. Dan aku juga tahu, bahwa ini ujian yang diberikan Rabb kepadaku.
Bagiku, keakraban dengan Bintang -begitulah aku mengibaratkan Syafrie, sebagai sosok yang pernah singgah di hati ini- merupakan pelajaran tersendiri di akhir masa SMA.
Masih terngiang dalam khayalku, kata-kata terakhir yang diucapkan Miki sebelum kami berpisah.
Bintang…
Entah apa yang membuat aku masih menyisakan ruang, biarpun itu adalah suatu yang sangat sempit di dada ini. Namun sejujurnya, aku masih berharap. Selama dua tahun kami berteman dan bersahabat, bahkan tak jarang teman-teman mengira kami pacaran, karena kedekatan kami. Tak cukup di situ, bahkan mama juga beranggapan Syafrie adalah pacarku.
Tapi sejujurnya, aku tidak pernah mengenal apa itu pacaran. Entah apa masih ada yang percaya dengan pengakuanku ini. Aku tidak ingin menodai kesucian dan kepercayaan yang telah Rabb berikan padaku. Tak pelak juga, banyak yang mengatakan aku adalah cewek yang sok suci, sok alim, dan sebagainya. Ah, sarkasme sekali tuduhan itu. Tahu apa mereka tentang aku.
Namun disisi lain ruang hidupku, fitrahku sebagai perempuan, aku juga membutuhkan kehadiran seorang pria yang bisa menjadi sandaran hati ini. Tempat labuhan jiwa yang lelah ini. Namun entah kapan dan siapa dia? Tak jarang mereka menertawakan khayalku, yang mengharap akan datangnya seorang pangeran dalam hidupku-The True Love-, dengan membawa keridhoan-Nya, untuk menjadikan aku sebagai pendampingnya. Khayalan gadis remaja yang baru menginjak usia dewasa. Khayalan seorang pelajar SMA yang belum tahu tentang makna kehidupan yang sesungguhnya. Hanya berbekal keyakinan, harapan, dan angan.
Mungkin inilah jalan yang harus aku tempuh. Hadapi berbagai tikungan dan tanjakan, serta hamparan jalan yang licin, dan terkadang keras berbatu, untuk menggapai Ridho-Nya. Aku tidak pernah tahu apakah ini namanya cinta, namun uniknya aku juga sama sekali tidak berkeinginan untuk menjalin hubungan kasih dengan dia-seperti yang dilakukan teman-teman sebayaku. Hanya khayalan, tentang pangeran dan masa depan.
Mungkin itulah saatnya Rabb mengirimkan uji-Nya padaku. Dia akan mengirimkan orang yang salah, sebelum aku bertemu dengan orang yang tepat. Untuk belajar dan mengerti kenapa aku berada di sini, saat ini, kemarin, dan esok.
“Asal kamu tahu, selama empat tahun terakhir, semenjak kepergian kamu yang tanpa jejak itu, dia tidak ada putus asanya mencari tahu tentang keberadaan kamu. Bahkan dia masih berharap suatu saat nanti kamu akan telfon dia lagi, seperti…, dulu!”
Mengingat kata-kata itu, seolah diri ini masih terbelenggu dalam kenangan masa lalu. Empat tahun yang lalu, aku pergi begitu saja dari dia. Menghapus semua jejak masa laluku yang terkesan begitu polos namun memuakkan. Saat dia singgah dalam hidupku, aku hanya bisa berharap dan berkhayal.
Rabb.., jika dia orang yang tepat untukku, maka persiapkan dan jagalah dia untukku. Namun, jika dia bukan orang yang tepat untukku, jauhkanlah dia dari diriku dan hidupku, dan lindungilah aku dari apa yang menimbulkan murka-Mu.
“Uuuhhhff.. sudah hampir pagi ya?”, Aku bergumam lirih, berusaha kembalikan pikiranku, dan tidak mau lagi berada dalam khayal panjangku.
Ini duniaku, aku harus berfikir realistis dalam hadapi hidup.
Dorongan rasa ini begitu kuat. Gejolak ini sangat sulit aku kendalikan.
Apa aku harus hubungi dia lagi? Dan menghancurkan benteng pertahanan yang telah aku bangun selama ini? Aku…!
Ah, tidak… kenapa aku harus lakukan itu? Memangnya dia siapa? Karena kehadiran dia aku sering merasakan sakit dan kecewa. Tapi.. karena dia pula, akhirnya aku sadar bahwa selama ini aku hanya menjadi korban atas perasaanku sendiri.
Tidak, aku tidak boleh menyalahkan orang lain. Inilah jalan yang aku pilih dan harus aku tempuh.
Ku hapuskan bimbang di pikiranku, ku bersihkan tabir penutup hatiku, ku hapuskan debu, dan singkap tabir di jiwaku dengan air wudhu. Kuyakinkan hati ini, ku teguhkan jiwa ini, dalam gema takbir, kusyuknya rukuk, dan dengan sempurnakan sujudku.
Seusai shalat lail, ku tatap meja belajarku.
seluruh file di komputerku, kumpulan data, dan catatan dalam sekian tumpuk bukuku, yang kesemuanya berisikan torehan nama dan cerita tentang dia, yang telah tersimpan rapi jauh di dasar ruang waktu yang gelap dan tanpa batas, kini seolah mencuat kembali. Harapan yang sempat pupus dan terkubur, kini tumbuh kembali.
Rabb, dia Kau datangkan kembali dalam hidupku. Jika ini takdir-Mu, aku tak kuasa menolaknya. Jika ini uji-Mu, tunjukilah aku jalan lurus-Mu. Rabb, aku merasakan kebesaran-Mu disini. Ribuan bahkan jutaan taburan bintang di langit, seolah teguhkan keyakinanku. Jika hanya satu Bintangku yang hilang, aku yakin Kau akan beriku Bintang yang lain, yang sinarnya lebih terang dan terbaik untukku.
~ ~ ~ ~ ~
Kepalaku terasa pening, pandanganku mulai kabur, dan perutku terasa mual. Zat asam dalam lambung mengaduk-aduk perutku yang kosong. Mungkin aku kelelahan. Sudah hampir lebih dari satu jam aku membongkar dan memilah-milah seluruh rak buku dan lemari pakaianku di kamar, yang sudah hampir empat tahun aku tinggalkan. Emosiku mulai menunjukkan rasa muaknya, dan kadar asam lambungku terasa semakin meningkat.
“Ahhh… usahaku selama lebih dari satu jam tidak membuahkan hasil sama sekali. Payah…”
Bahkan tanpa aku sadari, mama sudah berdiri mematung di ambang pintu kamarku yang lupa belumku tutup. Memperhatikan gelagatku yang dipandang aneh oleh beliau.
“Kamu sedang cari apa sih Mbak? Kok mama liat dari tadi kamu kayak orang bingung gitu? Ampe lupa makan pula!”
“Ah… gak tahu ma…? Aku capek sekarang! Dicariin dari tadi nggak ketemu juga? Seingatku, aku simpan di rak buku! Mama tahu nggak?”, Sambil melepas lelah ku hempaskan diri di tempat tidur yang ternyata masih nyaman, dan… senyaman dulu.
“Selama kamu di Bandung, tidak ada orang yang otak-atik kamar kamu kok! Cuma kadang-kadang mama masuk buat bersihin. Kalau kangen kamu, mama liat foto-foto kamu di rak buku!”
“Iya… tapi kok nggak ada sih Ma?”
“Coba cari lagi? Mungkin Mbak lupa taruhnya?”, Mama berusaha membantu ikut mencari.
Padahal aku yakin banget, kalau di tanya, mama pasti tidak tahu apa yang sedang beliau cari. Semuanya nampak begitu konyol.
“Ada apa sih ribut-ribut? Kamu itu Dek.., pulang-pulang bisa cuma repotin mama terus! Mama juga tuh, lagi cari apa sih?”, Celoteh Mas Iwa, kakakku.
“Iya ya Mbak, emank kita mau cari apa sih?”, Sambil memandang bingung ke arahku.
Seketika suasana menjadi hening, dan dalam sekejap hitungan detik keheningan pecah oleh gelak tawaku dan mas Iwa. Kami tertawa mendengar pernyataan mama yang menunjukkan kepolosan seorang ibu tatkala panik.
“Udah deh,,, ketawanya cukup! Orang tua kok ya diketawain gitu? Kalian ini di sekolah masing-masing diajarin untuk nggak sopan ya sama orang tua? Dosa lho ya?”, Ungkap mama sambil kesal.
“Maafin kami Ma…!”, Timpal Kak Iwa.
“Oh ya, Mas tahu ponsel lamaku yang aku taruh di rak buku nggak?”
“Oh.. itu toh? He…he…he.., maaf! Kemaren aku pinjam buat telfon klien! Itu sekarang ada di kamarku!”
“Syukurlah….!”, Menghela napas panjang.
Tak membutuhkan waktu lama untukku mencari nama Syafrie dari daftar contacts di ponsel lamaku, yang banyak terdapat berbagai macam pesan singkat dari dia yang masih aku simpan hingga saat ini. Nomer handphonenya sudah aku atur dalam speed dial list di urutan ke empat, sesuai dengan tanggal ulang tahunnya.
Kalau dipikir, semuanya nampak begitu konyol. Ternyata dulu aku sangat mengagumi dia, mengagumi orang yang belum pernah aku temui. Bahkan untuk apa aku masih menyimpan semua pesan singkat yang dia kirim buat aku? Dan parahnya lagi, sampai nomernya aku save dalam speed dial list. Ya, waktulah yang telah merubah aku. Membawa aku menuju kedewasaan. Seperti saat ini, saat aku sedang menertawakan kekonyolan masa laluku.
Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kembali ke masa-masa saat masih duduk di bangku SMA. Seperti saat pertama dia mulai singgah di hidupku. Seolah ini semua terjadi baru beberapa waktu yang lalu.
Seketika dalam dadaku tumbuh kegelisahan. Debar-debar di dada ini, rasa takut bercampur senang, meruak menjadi satu. Harapan yang mustahil seolah kembali memberi celah.
Saat ini aku hanya bisa menggenggam ponsel di tangan kananku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku berusaha menenangkan kegelisahan ini, aku tarik napas panjang, dan berkali –kali megucap istighfar. Perlahan mulai tenang. Dan aku pun mulai menekan angka empat pada keypad ponselku.
Perlahan debar-debar itupun meruak kembali, ketika menunggu panggilan tersambung.
Di seberang terdengar ringan suara seseorang yang sudah sangat aku kenal intonasi dan tutur katanya.
“Assalamualaikum…?”
Subhanallah, suara itu! Dan cara dia mengucap salam? Tidak.., aku tidak boleh lakukan ini. Aku harus memutus telfonnya.
“Hallo TJ…! Kok kamu diem?”
Rabb…! Ternyata dia tahu kalau ini aku yang telfon, dan dia memanggil aku TJ. Nama yang dia berikan untukku sebagai singakatan dari nama panjangku “T’ Jully ana”. Apakah dia masih menyimpan nomerku? Tidak…, tidak mungkin! Setelah empat tahun? Tidak mungkin!
“Ahh.. ya, waalaikum salam! Ehm.. Syafrie ya? Ahh… aaa… aku hanya terkejut saja, ternyata kamu masih menyimpan nomerku?”
“Ahh.. dasar kamu! Aku, Sang Bintang pangeran kecilmu, tidak akan pernah melupakan kamu sampai kapanpun! Kamu itu yang sombong, nggak pernah telfon Syafrie!”
Aku masih tetap dalam diamku. Aku terlalu dikejutkan dengan ini semua. Dia tidak banyak berubah, masih tetap seperti yang dulu. Selalu bisa mencairkan ketegangan.
“TJ nggak pernah berubah ya! Kalau sedang telfon Syafrie, selalu banyak diamnya!”
Kata-katanya memecahkan lamunku.
Dalam sekejap waktu, kami sudah larut dalam obrolan-obrolan yang kocak dan konyol. Itulah salah satu kelebihan dia di mataku, yang membuat aku berharap sampai sekarang. Selalu bisa mencairkan suasana.
“TJ tahu nggak? Sampai sekarang… aku masih kecewa sama kamu! Kamu dulu pernah menolak cintaku, dan meninggalkan aku begitu saja tanpa memberikan jawaban yang pasti! Dan kenapa setiap kali aku ajak ketemu, kamu selalu menolak dan menghindar? Apa aku terlalu buruk di matamu? Sehingga kamu tidak mau malihat aku? Atau hanya untuk sekedar menatap mataku, untuk menunjukkan bahwa aku tidak main-main.”
Seketika jiwa ini kembali terguncang! Aku tidak berpikir sebelumnya kalau dia akan berkata demikian. Rabb, apakah dia tahu keadaanku sekarang? Aku bukan Jully ‘yang dulu lagi’! Aku tidak mau terjatuh dalam kubangan yang sama. Aku tidak mau terpuruk lagi.
Tapi, aku kembali untuk meraih keridhoan-Mu Rabb. Bukan untuk mengulang semua kesalahanku di masa lalu yang mengikis aqidah dan melemahkan iman. Apakah kau bisa mendengar hatiku yang tengah kacau ini? Apakah kau bisa memahami kondisiku yang terjepit ini? Dan apakah kau tahu untuk apa aku lakukan semua ini?
Aku dulu memang menolak cintamu. Aku memang meninggalkanmu. Karena bukan itu yang aku harap dari dirimu. Aku tidak mengharapkan untuk menjadi kekasihmu. Dan aku tidak mengharapkan belas kasih serta cinta manis yang sering kau tawarkan dan janjikan kepadaku, dan mungkin yang banyak didamba-dambakan oleh para gadis pada masa itu, dan mungkin juga sekarang. Bukan, bukan itu. Aku dulu pergi untuk saat ini. Tapi kamu masih belum juga membuka hatimu untuk tujuan yang sesungguhnya. Mungkin kau memang bukan orang yang tepat.
Dia mengatakan bahwa dia kecewa padaku? Ah.. omong kosong! Apakah dia pernah berpikir bagaimana rasa sakit dan kecewa yang aku rasakan selama ini? Apa dia merasakan beratnya perjuanganku untuk mengakhiri sesuatu yang sangat aku sukai? Aku tahu ini hanya siasatmu untuk menjebak aku dalam masalah yang sama untuk yang kedua kalinya. Ya dan hal itu pulalah yang dahulu membuat aku terpuruk dalam bujuk manismu. Mungkin saat itu, aku terlalu polos untuk menyadari akan apa yang sedang aku rasakan. Hati dan pikiranku tertutup oleh tabir kepalsuan manisnya cinta semu yang kau tawarkan.
Hanya dalam hati. Hanya dalam hati aku teriakkan semua itu.
“Oh ya, minggu depan kamu kan ulang tahun?”, Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Iya, tapi mungkin aku nggak bisa ngerayainnnya seperti tahun-tahun kemaren! Sebentar lagi aku tidak akan sebebas dulu. Oh ya, bulan depan aku mau…, ah sudahlah, aku pikir kamu tidak mau tahu! Kamu sendiri, bagaimana kuliahmu?”
Aku tidak pernah menganggap serius semua perkatannya, ya tentunya setelah aku tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku mempercayai semua perkataan manisnya. Tapi aku tidak pernah berfikir bahwa tidak akan ada lagi Bintang dalam hati ini. Dan aku juga tidak pernah berfikir, apakah nanti aku masih bisa mendengar suaranya lagi seperti saat ini.
~ ~ ~ ~ ~
Malam kian larut. Namun aku masih enggan meninggalkan balkon. Taburan bintang bak permadani yang terbentang di jagad raya Ilahi, mematri tatap mataku agar tidak beranjak untuk tetap memandangnya. Empat tahun aku menutup diri, enggan memandang karunia Ilahi yang indah ini, hanya karena enggan mengenang semua yang telah terjadi.
Namun kini, hanya kehampaan yang ku rasakan. Baru ku sadari, sore itu merupakan telfon terakhirku. Setelah itu, aku tidak dapat lagi mendengar suaranya, tidak dapat lagi mengucapkan selamat ulang tahun buat dia. Mungkin inilah jawaban yang Rabb barikan atas doa-doaku selama ini. Bahwa dia bukan untukku. Terlalu banyak kekecewaan yang aku rasakan. Sebesar itu harapanku, dan sebesar itu pula rasa kecewa yang harus aku rasakan.
Sudah sebulan aku menunggu dan mencari kabar tentang dia, semenjak telfon terakhir itu. Aku telah membuang percuma waktuku selama sebulan ini, hanya untuk memikirkan orang yang belum tentu memikirkan aku. Jika dia pernah bilang menunggu aku selama empat tahun, dan dia bertahan selama waktu itu, sama sekali tidak ada kata yang membuat aku yakin dan untukku percaya akan apa yang ia utarakan. Tidak seharusnya aku memenuhi pikiranku dengan sesuatu yang tidak sepatutnya memenuhinya.
Angan panjangku di balkon telah dibuyarkan dengan suara dering sms dari ponselku.











MESSAGE
From : Miki
Malam Jully.. aQ ykn Qm blm tdur. Aplg d langt brtbur Bintng! Oh y, kpn mw balik k Bandug? Liburn Kul ud mlai brkhr kn?
20 / 5 / 2007 11 : 28 PM
Call Back Numb :
081514488141
Ya, aku hanya bisa menghela napas panjang. Tujuanku pulang ke Sidoarjo untuk menghabiskan waktu liburan kuliah, sebelum skripsiku selesai. Namun, disisi lain aku juga berharap masih dapat memenuhi janjiku buat bertemu Syafrie, kalau kuliahku benar-benar sudah selesai. Namun sepertinya, Rabb tidak menghendaki niatku ini. Dan mungkin memang aku dan dia tidak ditakdirkan untuk bertemu.
Aku me-replay sms yang baru saja aku dapat dari Miki.
Send To : Miki
Insya Allah migu dpn! Stlh memenuhi undagan dia. Stlh aQ akhiri smua ini! Knp? Miki juga hadir kan?
20 / 5 / 2007 11 : 33 PM
Empat tahun lalu aku berjanji pada diriku sendiri. Suatu saat nanti aku akan kembali dengan membawa harapan baru, untuk mewujudkan khayalanku mencari Bintangku. Mungkin inilah saatnya aku mengakhiri permainan lama untuk memulai kehidupan baru dengan permainan baru pula. Selama ini aku berusaha menikmati setiap rasa sakit dan kecewa karena perasaanku sendiri.
Aku berfikir, mungkin dengan pergi dan meninggalkan semuanya begitu saja, maka masalah selesai dan ‘I’ll be the winner’. Dan tidak akan ada lagi rasa sakit serta kecewa.
Aku salah.
Justru hal inilah yang membuat aku semakin merasakan sakit yang sangat. Aku harus mengakhiri semuanya dengan baik, sebaik saat aku memulai semua ini. Bermain dengan cantik.
Inilah saatnya aku mengakhiri permainan ini. Mungkin langkah awal, dengan memenuhi undangan itu. Tak habis pikir. Siapa gadis yang beruntung itu? ‘Beruntung’? tidak juga. Mungkin malah sebaliknya.
~ ~ ~ ~ ~
MESSAGE : Syafrie
Gimana kbr Qm, baek-2 aZakn? Knp Qm skrg ko’ jrg tlfn? Da lupa maQ ya? Tlfn aQ y! aQ kangen ma Qm dan suara manja Qm!
6 / 7 / 2003 03 : 50 PM
Call Back Numb :
08881580923

MESSAGE : Syafrie
Yaampun Cinta…? aQ tuh malah senang bgt Qm tlfn. Mankna aQ brubh gmn? Prasan tetep ZaQ sayang ma Qm.
6 / 7 / 2003 08 : 52 PM
Call Back Numb :
08881580923

MESSAGE : Syafrie
KloQ benar-2 sayang ma Qm gmn? aQ jg nggak maen-2 ma kata-2 Q.
6 / 7 / 2003 09 : 10 PM
Call Back Numb :
08881580923

Baru saja aku selesaikan membaca kembali pesan yang masih aku simpan di ponsel lamaku. -Dikirim oleh Syafrie empat tahun lalu. Tepat sehari sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Bandung-. Ketika seorang petugas hotel datang menghampiriku di meja makan siang, setelah launching buku yang baru aku selesaikan.
“Permisi.. Anda, nona Jully?”
“Oh ya, saya!”
“Maaf, ini ada pesan buat Anda!”, Sambil meletakkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat berukuran persegi di mejaku.
“Dari siapa?”, Sambil mengambil kartu yang tertera di bagian atasnya.
“Seorang pengunjung acara launching buku Anda. Dia menunggu di lobi hotel!”
“Oh, terimakasih!”
Aku segera menghapus tiga pesan yang baru saja aku baca di ponsel lamaku, yang sudah tersimpan disana selama empat tahun.
Hanya buang waktu dan pikiranku saja kalau aku masih menyimpan tiga pesan terakhir yang konyol itu.
Ku pikir itu hanyalah kartu ucapan terimakasih atau sepenggal kritikan atas buku yang telah aku tulis. Ternyata aku salah besar. Setelah aku membuka bungkus kertas warna coklat yang menyelimutinya, dan dari dalam menyembul sebuah buku yang…
Yang empat tahun lalu aku berikan kepada seorang teman sebagai hadiah perpisahan, yang berjudul “Kenapa sih harus pacaran?”. Ya sebuah judul yang mengandung makna ganda. Bisa diartikan bahwa kita harus pacaran, dan bisa juga diartikan kenapa kita harus menganut paham pacaran? Sungguh menggugah minat pembacanya. Dan ternyata isinya, memberikan kita pemahaman baru tentang pandangan islam terhadap pacaran. Memang tidak ada paham pacaran dalam islam.
Dan dalam kartu ucapan terdapat pesan.

Aku yakin kamu Jully San yang aku kenal tujuh tahun lalu.
Ternyata kamu benar-benar serius dengan kata-katamu
Dan sekarang kau sudah membuktikannya padaku dan pada semua orang.
Tidak terpikir Allah pertemukan kita disini
Aku tunggu di lobi ya?

Yolanda

Aku harus menata ulang hati ini. Seketika luapan kebahagiaan dan keterkejutan ini meruak melebur menjadi satu dalam semangat tiap langkahku menuju lobi hotel seperti yang tertera dalam pesan. Sama sekali tidak terbersit dalam benakku, akan bertemu dengan sahabat waktu masih sama-sama duduk di bangku SMA. Yolanda adalah teman idealku selama tiga tahun pada masa-masa SMA.
Apakah selama ini aku terlalu sibuk memikirkan Syafrie, sehingga aku melupakan segalanya tentang teman-teman dan keluarga yang telah empat tahun ku tinggalkan. Rabb, bagaimana dia sekarang. Parasnya yang molek seketika muncul dalam bayang meliputi langkah kakiku menuju lobi hotel.
Dari kejauhan aku dapat melihat keceriaan dalam tatap bola matanya yang hitam kecoklatan. Dia, nampak lebih gemukan dan cantik. Sepertinya dia bahagia dengan kehidupannya sekarang. Namun, dia agaknya sanksi melihat penampilanku yang mungkin agak aneh dalam pandangannya.
“Assalamu alaikum…!”, Sapaku sambil memeluk dia.
“Waalaikum salam…!”, Dia membalas pelukanku dengan lembut.
“Kamu tambah cantik Yoe..,! Agak gemukan neh? Wah kliatannya kamu bahagia sekali ya dengan kehidupanmu sekarang?”
“Ah kamu.., dari dulu nggak pernah berubah kalau soal nyindir aku! Kamu sendiri kaliatannya sudah mencapai standar yang dulu sangat kau damba-dambakan?”
“Maksud kamu… berjilbab? Iya donk…, kita kan harus menjadi muslimah yang kaffah! La kamu sendiri kapan mau nyusul?”
Begitulah obrolan kami berlangsung tanpa direncanakan sebelumnya. Seolah Rabb memang sudah mengatur semuanya untukku. Kepulanganku kali ini benar-benar membawa keberkahan dan kebahagiaan tersendiri dalam hidupku. Bernonstalgia dengan teman-teman lama.
“Oh ya Jully…, minggu depan… aku akan nikah!”
Aku tidak mengira semuanya akan berlalu secepat ini. Dia yang dulu suka gonta-ganti pacar, ternyata sekarang sudah menemukan pangerannya.
“Ah.. serius kamu? Siapa pangeran yang beruntung jatuh dalam rayuan gombalmu itu? Dasar cewek penakhluk!”
“Ihh.. kamu gitu ya? Gila-gila gini, kamu juga sayang kan sama aku? He…he…he… Datang aja minggu depan. Nanti kamu juga akan tahu siapa dia. Nanti aku kenalin dech..!”, Sambil mengambil undangan dari tasnya dan memberikannya padaku.
Sebuah undangan berwarna pastel dengan parfum aroma terapy.
Aku sempat tidak yakin dengan ini semua. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Undangan itu, bentuk, warna, dan aromanya sama persis dengan undangan yang diberikan Miki kepadaku tiga hari yang lalu. Sempat terbersit dalam benakku untuk tidak membuka dan membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Aku takut menghadapi suatu kebenaran, yang mungkin akan membuatku kecewa.
“Kok diam aja? Kamu nggak suka ya dengan undangannya? Atau kamu nggak suka aku nikah? Jully.. nggak mungkinkan kamu jatuh cinta padaku? He…he…”, Dia mulai menunjukkan kekonyolannya di hadapanku.
“Ihh… dasar kamu! Aku ini normal kale…!”
“Awalnya juga aku berfikir kalau warnanya terlalu…., ah tapi dia berusaha meyakinkan aku kalau itu warna yang bagus!”, Ucapan Yoe memecahkan keterkejutanku.
“Ahh.. tidak kok, bagus malah! Aku hanya masih nggak percaya kalau kamu benar akan married?”, Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku, di balik hijabku.
Aku berusaha untuk cepat mengakhiri semua ini. Aku telah berjanji pada Yolanda akan datang pada pesta pernikahannya minggu depan. Dan aku benar-benar mulai yakin kalau itu adalah undangan yang sama, yang diberikan oleh Miki padaku, walaupun tanpa aku melihat nama calon suaminya. Acaranya diselenggarakan dalam tempat dan waktu yang sama, serta bentuk undangan dan aromanya pun sama.
Rabb, apakah aku benar-benar harus mengakhiri permainanku hanya sampai disini? Di tangan sahabatku sendiri? Dan kenapa harus Yolanda? Tidak adakah wanita lain yang bisa menempati posisi itu? Apakah ini kuasa-Mu? Engkau Yang Maha Besar, segala puji bagi-Mu Rabb. Aku hanya bisa berserah diri. Aku harus menyelesaikan permainan ini dengan kemenangan untuk menggapai Ridho-Mu.
~ ~ ~ ~ ~
Rabb, dimana Bintangku? Apakah dia masih bersinar di langit-Mu? Apakah terangnya bisa sinari hari-hariku? Atau Kau akan beriku bintang yang lain?
Rabb, kenapa mereka seolah tertawa padaku? Bintang-bintang itu di jagad raya-Mu. Apakah aku telah melakukan kesalahan dalam menyelesaikan sisa permainan ini, sehingga aku patut mejadi yang terkalahkan?
Tidak Rabb, aku ikhlas dengan ini semua. Aku hanya mengharapkan keridhoan-Mu, bukan kemudhorotan-Mu. Aku telah kehabisan rasa yang orang sebut dengan nama sedih untuk saat ini. Mungkin semua telah habis, atau Kau telah menghapuskannya dari dada ini, dan menggantinya dengan kelapangan-Mu?
“Jully.. ini ada undangan buat kamu! Datang ya, minggu depan dia mau married dengan seorang gadis yang menurut dia cantik. Tapi bagiku, kaulah sahabat yang tercantik, dalam balutan hijabmu!”, Mungkin kata-kata itulah yang bisa aku kenang hingga saat ini. Miki mengucapkannya dengan hati-hati di hadapanku.
“Oh ya Jully…, minggu depan aku akan nikah!”, dan Yulanda dengan nada ringan juga menyampaikan amanat itu kepadaku pada pertemuan pertama kami setelah empat tahun berpisah.
Rabb, melalui karya cipta-Mu yang agung di jagad raya itu. Bintang-bintang di langit gelap-Mu, kaulah saksi atas keteguhan hatiku malam ini. Besok aku akan datang untuk mengakhiri sisa permainan ini, dan akan pulang dengan membawa keridhoan sang panciptamu.
Suara dering ponselku memecahkan kesunyian malam yang tenang nan damai ini.











Miki?
Kenapa ya kok malam-malam dia telfon? Angkat nggak ya?
Setelah beberapa detik tanpa kepastian, dan terus menggemakan ringtone-nya yang melantunkan lagu ‘Better Than Love’. Akhirnya aku memberikan jawaban atas dering ponselku yang sialan itu.
“Assalamu alaikum..?”
Dari seberang suaranya terkesan santai dan ringan.
“Waalaikum salam..!”
“Ada apa? Apa ada yang bisa aku bantu?”
“Ah, tidak. Aku sebelumnya minta maaf kalau menganggu kamu malam-malam. Aku tahu, sebenarnya tidak selayaknya aku menghubungi kamu larut malam seperti ini. Tapi aku hanya mau memastikan, apakah kamu yakin akan menghadiri undangan itu?”, Tanya Miki gelisah.
Dengan penuh keyakinan dan kepasrahan, aku menjawab pertanyaan itu dengan sejujur mungkin.
“Ah.. ya Insya Allah.. aku akan hadir. Karena mungkin hanya inilah kesempatan terakhirku agar dapat mengucapkan selamat dan mengikhlaskan segalanya..!”
~ ~ ~ ~ ~
Berkali-kali ringtone dari ponselku berdering, mengungkapkan kekesalannya karena tak kunjung juga ku beri jawaban. Aku yakin, pastilah orang yang berada di seberang telfon sana sangat kesal dan tidak sabar, karena telfonnya tak kunjung ku beri jawab.
Aku masih terpaku memandang pantulan bayang wajahku dalam cermin di meja rias. Aku tidak menyangka bahwa Rabb akan menunjukkan hidayah-Nya padaku. Jilbab inilah yang membawa aku dalam kedamaian dan ketenangan dalam menghadapi segala uji dan coba yang di hujahkan padaku. Mungkin hidayah ini tidak akan datang jika aku tidak pernah menjemputnya.
Empat tahun lalu, saat aku bertemu dengan seorang teman satu kos. Kami mulai mengadakan diskusi seputar islam, agama yang telah aku peluk semenjak aku dilahirkan ke dunia ini. Sebelumnya sama sekali tidak aku sadari akan ketidaktahuanku tentang ajarannya yang indah. Aku mulai tergugah untuk mulai mempelajari dan menjalaninya dengan sepenuh hati. Hijab inilah yang membuat aku bertahan hingga kini. Hijab ini yang membuat aku bisa mengatasi segala rasa kecewa atas perasaanku sendiri. Dan semua ini datangnya dari Dia. Allah Yang Esa.
Selama perjalanan menuju stasiun kota, aku hanya diam dalam diamku. Seolah aku baru saja melepaskan beban beribu-ribu ton dari pundakku. Ya, tiada lagi kesedihan, kekecewaan, dan penyesalan. Yang ada hanyalah keikhlasan dan ketenangan dalam jalani kehidupan selanjutnya.
Aku masih mengingat dengan detail, bagaimana aku memasuki altar gedung pertemuan yang di pakai sebagai tempat berlangsungnya pernikahan Yolanda. Suasanya terasa begitu damai. Setiap orang yang datang dengan membawa tujuannya masing-masing, atau hanya sekedar untuk mengucapkan selamat pada mempelai.
Acara resepsi ini, menggunakan nuansa warna biru. Entah aku tidak tahu, apakah itu warna yang sangat disukai Yoe atau...
Tapi mereka memang sama-sama suka dengan warna itu.
Satu-persatu aku lalui anak tangga menuju halaman belakang tempat resepsi dilangsungkan. Terdengar sayup-sayup suara piano dimainkan. Dan aku sangat mengenal permainan siapa itu.
Kekasihku mendekat padaku
Saat ini ku ingin
………………..
Andai saja aku pendampingmu
Bahagia pasti di hati
Rengkuh aku bersamamu
Malam ini milik berdua
Dan ku 'tlah jatuh cinta
Ku wanita dan engkau lelaki
Perasaanku berkata I'm falling in love
…………………..
Aku kembali menata hati dan pikiran ini. Sudah dapat aku pastikan bahwa dialah yang bersanding dengan Yolanda. Tapi aku tidak mau memenuhi pikiranku dengan berbagai macam pertanyaan yang menyerangku secara bertubi-tubi. Bagaimana bisa? Apa yang telah terjadi selam empat tahun? Dan apa maksud semua ini? Kenapa harus kamu, Yoe…?
Tidak, karena itu hanya akan menghancurkan semuanya. Hanya satu jawaban yang ingin aku dengar. Ini adalah kuasa Illahi.
………………..
Jatuh cinta ternyata memang indah
Apalagi bersamamu
Walau aku tak pasti bisa
Mendapatkan cintamu…
Aku memastikan bahwa, hijab ini akan memberikan kepercayaan diri yang lebih untukku. Aku mulai berjalan menuju pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada sahabat terdekatku selama tiga tahun di bangku SMA.
Aku tidak booleh mengacaukan semua ini. Dan aku sadar semuanya telah terjadi. Sekarang aku dalam perjalanan menuju masa depanku. Dan aku masih dalam diamku.
“Kamu baik-baik saja kan?”, Tanya kakakku sambil tetap mengemudikan mobilnya di keramaian lalu lintas jalanan kota Sidoarjo, yang beberapa jam lagi sudah aku tinggalkan.
“Ah.. ya, aku baik saja kok!”, jawabku ringan tanpa ekspresi.
Aku menyalakan multi player-ku untuk mengurangi sepi di hati ini.
Sayup-sayup tapi pasti suara dalam multi player itu melantunkan tembang yang sudah tidak sing lagi bagi telingaku.
Aku mentari...
Tapi tak menghangatkanmu
Aku pelangi...
Tak memberi warna di hidupmu
Aku sang bulan...
Tak menerangi malammu
Akulah Bintang...
Yang hilang di telan kegelapan
…………….
“Kapan kamu akan menyusul?”
“Ah.. apa maksud kakak? Apa menyusul apa?”, Konsentrasiku mendengarkan lagu dari multi playerku tiba-tiba terpecah.
“Ah dasar kamu ini. Ternyata aku baru sadar, kalau dedek kecilku ini sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Dan, kapan kamu akan mengikuti jejak sahabatmu Yolanda untuk ikut menikah?”
Pertanyaan itu yang akan sulit aku jawab. Tapi aku tidak pernah kehabisan kata untuk menjawabnya. Dasar aku badung.
“Insya Allah, kalau Allah sudah mengirimkan pangeran untukku! Dan.. aku tidak tahu kapan itu tepatnya? Mungkin lusa, akan dikirim lewat pos, wesel, atau… jatuh dari langit? He…he..he…?”
Kami tertawa bersama dalam ketengan hidup ini. Benar yang dia katakana. Aku tidak akan kembali menjadi muda lagi.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Menikmati suasana kota yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan Bandung. Mungkin aku akan sangat merindukan suasana seperti ini.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas senyum dan tatapan mata yang selama ini aku rindukan dalam khayal dan harapku. Namun, berdosa sekali aku jika aku masih berharap. Itu bukan lagi menjadi milikku. Dia sudah berada di sisi sahabatku, menemaninya selama masa hidupnya. Dia telah menemukan permaisurinya. Aku harus turut berbahagia, seharusnya.
Rabb, ternyata dia yang selama ini aku khayalkan dan aku harapkan. Sekarang dia teleh mendapatkan permaisurinya.
“Jully..,!”, Sambut Yoe dengan pelukan dan senyuman hangatnya.
“Selamat ya teman kecilku! Dulu kita dijuluki ‘The Couple of Crazy’, tapi sekarang kau sudah benar-benar menemukan your true love, yang telah menjadi pasanganmu. Menggantikan aku!”
Tersenyum..
Dan aku juga tidak tahu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya. Mungkin aku terlalu kejam kalau sempat terbersit dalam pikiranku, kau telah merebut cinta pertamaku. Tapi tidak Yoe, aku tahu ini semua takdir yang sudah menjadi garis hidup kita. Kau tidak pernah merebut dia dari aku. Tapi memang Rabb tidak menciptakan dia untukku.
“Oh ya, kenalin ini suamiku. Namanya Syafrie…!”
Ya benar Yoe, namanya memang Syafrie. Nama yang selama empat tahun ini memenuhi hati dan pikiranku. Nama yang pernah membuat aku merasakan kekecewaan dan kesedihan karena tidak tahu apa yang seharusnya terjadi.
Dia, yang telah resmi menjadi suami Yolanda sahabatku, berusaha mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tanganku. Tapi, aku hanya memberikan senyum dan menundukkan sedikit kepalaku sebagai rasa hormat. Dia bukan mahramku, aku tidak patut menjabat tangannya. Dia bukan suamiku. Dia hanya orang yang pernah singgah dalam hatiku. Untuk memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku.
“Oh maaf, aku tidak seharusnya menjabat tangan Anda. Aku Syafrie, suaminya Yolanda…!”, Suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku.
Kini, bukan hanya suara yang aku dengar. Tapi aku juga menatap wajah dan matanya.
Apakah dia tahu kalau aku TJ? TJ yang pernah dekat dengan dia walaupun hanya sebatas teman telfon? Aku berharap dia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu. Aku hanya mengharapkan ridho-Mu Rabb, bukan yang lain.
“Ah.. ya, aku… Jully.., sahabat Yoe waktu SMA! Ehm… Semoga kalian bahagia ya! Dan semoga cepat dikaruniai putra dan putri yang maniz.”
Ya, hanya kalimat itu yang dapat keluar dari lidahku yang keluh. Berbagai macam tanya yang meruak dalam pikiranku, yang ingin sekali aku utarakan, seketika membeku dalam otakku dan berubah menjadi seuntai ucapan selamat.
Mobil yang kami kendarai mulai memasuki pusat kota. Pada pertigaan ujung jalan, mobil akan belok ke arah kiri, memasuki halaman stasiun yang usianya sudah melebihi usiaku. Bangunannya yang khas Belanda pada masa penjajahan dahulu, masih tetap dipertahankan hingga kini. Inikah yang dinamankan sejarah? Bagaimana sejarahku kelak? Jadi aku harus menciptakan sejarahku sedari dini?
Aku kini berdiri di halaman parkir stasiun kota. Ku hirup dengan tenang udara kota kelahiranku, yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Aku ingin menggapai citaku. Aku telah menyelesaikan sisa permainanku dengan sangat cantik, dan tanpa melukai seorang pun.
“Dedek… ayo! Sebentar lagi keretanya datang!”
“Ya…, nanti Kakak cepet nyusul ke Bandung ya! Ajak mbak Nisa sama Nakula kecil berlibur ke sana!”
Tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirku. Tidak ada lagi rasa yang tersisa dalam hatiku. Dan tidak akan ada lagi harapan kosong yang akan membuat aku kecewa. Hanya masa depan yang nampak.
Sebentar lagi, kereta yang akan membawa aku menuju masa depan akan tiba. Lembaran baru akan aku torehi dengan tinta emasku yang terindah. Sebuah karya agung dan sejarah yang fenomenal akan menjadi cerita pengantar tidur untuk putra-putriku kelak.
“Dek… itu keretanya datang!”
“Ah iya Kak, aku pamit dulu! Aku akan merindukan masakan mama! Dan..kekocakan kamu! Assalamualaikum…!”, Sambil ku cium punggung tangan kanan kakakku.
Ya satu langkah lagi, aku akan meninggalkan kota udang bandeng ini.
“Jully.., tunggu sebentar!”, Teriak seorang pria yang sudah tidak asing lagi buatku.
Dia Miki.
“Ya ada apa?”
“Kamu mau pergi lagi? Menghilang lagi tanpa jejak seperti empat tahun lalu? Tapi kali ini aku tidak akan mencegah kepergianmu kok, tenang aja!”, Dia berusaha menata napasnya yang kacau karena lari-lari.
“Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Aku akan menunggu kedatanganmu dengan membawa gelar master, ahli Biologi yang sangat aku kagumi! Dan setelah itu, kau tidak boleh menolak permintaanku, agar kau manjadi permaisuriku, menjadi isteriku, bukan untuk menjadi pacarku, seperti yang pernah di harapkan Bintangmu empat tahun lalu, sebelum kau akhirnya pergi!!”, Dia tersenyum puas.
Tidak ada lagi yang dapat aku ucapkan, atas permintaan dia. Biarlah Allah yang menjawabnya.
Dan benar apa yang Miki katakan. Aku pergi meninggalkan cinta pertamaku, karena dia mengharapkan agar aku menjadi kekasihnya, bukan sebagai isteri yang diridhoi-Nya.
~ ~ ~ ~ ~

Pesan untuk Uhtie


30 Juni 2007

Hati dan pikiran gadis bergamis ini tengah melayang-layang terbawa oleh suara Keith Martin yang melantunkan Because of You. Suasana kamar kosnya yang begitu tenang, diselimuti desau lirih hilir mudik tiupan angin dari baling-baling kipas di atap kamar. Membuat matanya terjerembab dalam kantuk.

…wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark
Bid my blood to run, before I come undone…

“Aaaccchhhggg….”

Hampir saja Zahra menjerit kalau ia tidak ingat berada di lingkungan kos. Ketenangannya terusik oleh nada dering sms, yang kontras melantunkan Bring Me to Life-nya Evanescence. Begitu saja mencuat dari handphone-nya tanpa permisi, tergeletak ditempat tidur.

Dengan cekatan jempol tangan kanannya menekan-nekan keypad dan segera membaca pesan yang masuk di inbox. Sesuatu menahan tatap matanya untuk terus melototi pesan singkat yang baru saja singgah di hp-nya.

“Apa maksud pesan ini? Siapa yang mengirim?”

“Tapi… wow..!”, bibirnya yang mungil membulat memerah.
“Benarkah aku telah melewatkan berita besar ini? Nggak mungkin??”, ketidakpercayaan, membuka matanya selebar kertas koran. He…he…he…
“Assalamualaikum, Uhti!
Salman Rushdi, telah mendapat gelar ksatria dari Ratu Elizahbeth, Inggris. Atas keberaniannya dalam membuat sebuah karya yang controversial. Saya yakin anti belum tahu?!”

“Salman Rushdi??? Sebentar… kalau nggak salah… Dia…!!!”

Diam sejenak, berusaha membuka kembali memorinya yang penuh dengan nama-nama ilmiah...
Bahkan terlalu sulit untuk membedakan antara Plante helmintes, Planaria, Aurelia aurita, dan…

“Apa hubungannya dengan Salman Rushdi????”, dia menjerit dalam hati.

Putus asa, karena belum juga bisa mengingat siapa ‘Salman Rushdi’. Menyesal, bagaimana seorang Zahra bisa melewatkan berita sebesar itu. Berdiam diri??? Bukan suatu langkah yang tepat.

… wake me up inside
Wake me up inside…

Ponsellnya berdering kembali. Tanpa ba…bi…bu…, langsung ia baca pesan yang masuk.
“Azz, kenapa diam??? Kasih komentar donk!!!!
Atau jangan-jangan…, kamu memang benar nggak tahu berita besar ini???”

Sayangnya kamu benar. Saat ini aku tidak bisa mengingat siapa Salman Rusdie. Mungkin memang sebaiknya aku jujur, telah melewatkan berita sebesar ini.
Baru saja Zahra akan me-replay pesan dari….

“Ahh… ya… aku sekarang ingat! Awas kamu ya! Dia pikir aku se-telmi ini? Untuk ukuran berita selangka ini, aku harus nyerah pada…? Pada siapa ya? Siapa yang mengirim pesan ini?”

Tanpa komando, Zahra berusaha mencari dan membuka kumpulan CD yang berisikan file-file dan dokumen tentang perkembangan informasi dalam dunia islam. Zahra kini mulai membuka kembali memorinya yang terpendam tentang sosok Salman Rushdi ‘terkutuk’ yang sangat ia benci.

“Salman Rushdi lahir di kota Devanegari, Bombai India pada tanggal 19 Juni 1947. Orang yang pernah mendapat hadiah sastra inggris Booker prize karena novel Midnight’s Children yang ia tulis tahun 1981.”

“Sebentar, kalau nggak salah…”, mata dan jemarinya begitu liar membaca dan menelusuri data-data di laptopnya.

“Jangan-jangan yang ia maksud tadi, ada hubunganya dengan…”

“The Satanic Verses. Buku yang paling menyedot perhatian seluruh umat muslim sejagad, yang dikenal dengan nama Ayat-ayat Setan, buku yang ia tulis tahun 1988. Padahal kalau boleh jujur, novel Ayat-ayat Cinta-nya Habiburahman lebih menarik lho. Bahkan aku sampai membayangkan, akan kehadiran seorang Ikhwan sholeh yang akan datang untuk meminangku dengan cara yang syar’i. he…he…he…”

Tidak ingin membuang kesempatan langkah, untuk membuktikan bahwa ia selalu mengkuti perkembangan informasi, walaupun terkadang agak telat. He…he..he..
Zahra langsung me-replay pesan dari…

“Waalaikum salam!
Tentang Salman Rushdi,, apa berhubungan dengan novel The Satanic Verses yang ia tulis pada 1988? Yang menuai kecaman dari berbagai kalangan umat muslim itu ya?”

Tak berselang lama, pesan yang baru saja Zahra kirim mendapat balasan dari…

“Zah… kamu ada e-mail nggak??
Mungkin lebih asyik kalau kita bertukar e-mail. Bisa lebih lengkap tulis kata-katanya.”

“E-mail??”

Bingung? Gamang? Itulah yang kini dirasakan Zahra. Dia tidak sadar akan ancaman belenggu setan yang tiap saat selalu mengintai.

“Rabb, pertanda apa ini buatku? Aku tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba saja muncul, dengan membawa semua yang aku cari selama ini. Seorang teman yang bisa diajak ‘share’ untuk memuaskan rasa hausku akan informasi.”

“Nggak akan ada masalah kalau dia seorang Ahwat. Tapi aku tidak tahu, dia Ahwat atau Ihwan ya?”

“Terlambatkah untuk menghentikan semua ini?Bukankah tidak ada maksud buruk diatara kami?.”

Gadis manja ini, terenyuh sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan pesan singkat yang baru saja nangkring di hp-nya. Antara membalas pesan singkat itu, atau…
“DIBIARKAN SAJA DAN CERITA INI BERHENTI SAMPAI DISINI????”
“Sayang banget, punya teman se-asyik ini kalau disia-siakan”, pekik Zahra dalam hati.

Ehh… boleh juga ide kamu!
azz_zahra_rvd@yahoo.co.id.
Aku tunggu informasi selanjutnya ya!

Pesan balasanpun terkirim. Dan, cerita pun dimulai.
“Informasi selanjutnya??? Astaghfirullah… seolah aku sangat mengharap akan kehadirannya kembali. Padahal, aku tidak tahu dia seorang ihwan atau ahwat?”
Gemuruh tanya itu, silih berganti meruak dalan dada Zahra.
~ ~ ~ ~ ~
…. wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark…
“Auwcghhh… Dasar hp sialan!!!”, konsentrasi Zahra terpecah ketika mendengar dering handphone-nya.
“UpzZ… Astaghfirullah! Ngomong apa aku ini?”, dagu mungilnya, harus rela tertusuk jarum karena keterkejutannya saat mengenakan kerudung.
“Assalamualaikum Uhti!
Dua hari yang lalu, aku berkirim pesan ke e-mail kamu!!! Kenapa tidak ada jawaban dari Uhti???”
Tanpa pikir panjang dan perlu me-replay pesan yang baru saja ia baca, Zahra langsung membuka laptopnya dan membaca e-mail yang memang sudah nangkring di ID-nya selama dua hari.
Subject : Gelar ksatria Salman!
Iya benar. Setelah adanya fatwa mati yang dikeluarkan Imam Khomeini 18 tahun lalu,ia melarikan diri ke Inggris dan mendapat perlindungan dari para musuh islam disana. Beberapa waktu lalu, Ratu Elizabeth memberikan gelar ksatria karena keberaniannya membuat sebuah karya yang controversial, dan sekaligus menginjak-injak harga diri umat muslim dan agama islam. Menurut kamu, apa motivasi Salman menulis novel itu??
Hormatku,
x_light
Subject : Uhti!!!
Uhtie… kenapa belum juga ada jawaban?
Aku sangat berharap, Anda bersedia memberikan sedikit komentar tentang informasi ini!
Hormatku,
x_light
“Oh… Rabb.. apa yang harus aku lakukan? Salahkah aku jika membalas pesan dari ‘dia’ yang tidak aku kenal, hanya sebatas untuk bertukar informasi?”
“Bukankah selama ini kami tidak pernah saling membahas masalah pribadi dan melawati batas-batas yang Engkau berikan?”
Subject : Re-gelar ksatria!
Dari informasi yang aku dapat, sepertinya hal ini berhubungan dengan sejarah kehidupannya. Waktu masih bersekolah dan tingal di asrama, Inggris. Salman sempat menjalin cinta dan menikah dengan seorang temannya sesama jenis bernama Umar. Bahkan mereka sebagai pencetus pernikahan sesama jenis. Karena hal ini menuai banyak kecaman, mereka pun dipisahkan. Kekasih Salman, yang seorang anak Mesir itu, membakar dirinya karena begitu mencintai Salman dan tidak ingin dipisahkan. Sejak kamatian Umar, ia bersumpah akan membalas dendam kepada agama-agama, terutama islam. Bagaimana menurutmu???
Hormatku,
As Zahra
Setelah yakin, Zahra langsung mengirimkan pesan balasan yang baru saja selesai ia ketik. Setelah pesan benar-benar telah terkirim, Zahra membaca kembali pesan yang baru saja ia ketik. Dan seketika, raut penyesalam menyeliuti wajahnya.
“Kenapa tadi aku mengetikkan kata ‘Bagaimana menurutmu?’. Bukankah itu akan semakin membuat hal ini berlanjut. Seharusnya aku sudahi saja bertukar pesan ini. Atau, sebaiknya aku bertanya, dia seorang ihwan atau ahwat? Tapi… sepertinya hal itu kurang sopan!”, Zahra hanya bisa menarik napas panjang.
Tak berselang lama kemudian, pada layar laptopnya muncul pesan baru.
Subject : Musuh islam…
Ya, mungkin itu alasannya. Karena bila kita jeli melihat hasil karyanya, kebanyakan isinya menghina agama dan keyakinan masyarakat setempat.
Dalam bukunya Grimus (1975), secara terang-terangan ia menghina keyakinan orang-orang India.
Buku Shame (1983) ditulisnya juga dengan isi yang sama.
Midnight’s Children (1981) ditulis mengkritik perjuangan rakyat India untuk mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris.
Bukunya The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey (1987) terkait dengan situasi politik di Nikaragua dan keyakinan masyarakatnya.
Puncak penghinaannya terhadap agama dengan menulis novelnya yang berjudul The Satanic Verses (1988). Ia menulis buku ini pada usia 47 tahun. Sebelum ia menulis buku ini, ia ikut hadir dalam sebuah pertemuan yang bermaksud untuk menghancurkan agama tidak lagi dengan senjata, tapi dengan tulisan. Tujuan itu terealisasikan dengan diterbitkannya buku ini.
Hormatku,
x_light
“Cukup Zah… dia sudah tidak meminta pendapatmu lagi. Matikan laptopmu dan tenangkan hati serta pikiranmu”, pekik Zahra pada dirinya sendiri.
“Subhanallah… aku lupa! Aku harus mengikuti kegiatan training pagi ini! Ah, cukup sudah. Jadwalku jadi terbengkalai karena memuaskan rasa penasaranku.”
Satu kesalahan lagi yang dilakukan Zahra. Seharusnya dia menghapus semua pesan-pesan itu, agar tidak menimbulkan ‘candu’, jika suatu saat tidak sengaja membacanya kembali.
Apa yang akan terjadi dengan Zahra selanjutnya?
~ ~ ~ ~ ~
Hari-hari pun telah berlalu sejak terkirimnya pesan-pesan terakhir itu. Tiada yang berubah, Zahra dengan jilbab dan kerudung yang melengkapi identitasnya sebagai muslimah sejati, masih berkutat dengan aktifitasnya sehari-hari dengan tinta dan kertas untuk menyalurkan khayal dan imajinya tentang kehidupan.
…wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark
Bid my blood to run, before I …
Beberapa tatap mata dari pengunjung perpustakaan kampus, yang sebagian besar berkaca mata itu, seketika tertuju pada arah sumber suara itu datang. Malu dan bingung, itulah yang dirasakan Zahra saat itu. Karena sumber suara itu berasal dari hp-nya. Ia baru menyadari bahwa ia lupa men-silent nada dering ponsellnya.
“Euchg… untuk yang kesekian kalinya, ‘Evanescence’ membuatku terpojok”, dengan dongkol, langsung ia baca pesan singkat yang nangkring di inbox hp-nya.
“Assalamualaikum Ukhtie!
Bagaimana kabar kamu?? Lama ya, kita nggak tukar informasi!?”
Terkejut melihat pesan yang ia dapat, tanpa sengaja Zahra menjatuhkan buku ‘The Madness of God’ karya Da’ud Ibn Ibrahim Al-Shawni, yang baru saja ia ambil dari rak buku agama.
Konsentrasinya terpecah setelah membaca pesan tersebut. Biarpun singkat, tapi tak perlu dipungkiri bahwa Zahra juga merasa kehilangan sosok seorang teman yang selama ini dia cari. Sekuat apapun dia memusatkan pikiran untuk tidak memperdulikan pesan tersebut, namun batinnya tak cukup kuat menerima uji sekecil itu.
Dasar setan, benar yang dituturkan dalam Al-Qur’an, bahkan memang tidak ada keraguan di dalamnya. Mereka (para setan, beserta antek-anteknya) akan terus berusaha menjerumuskan manusia, seperti halnya yang telah dilakukan iblis (nenek moyang setan) terhadap Adam dan Hawa. Dia akan datang dari segala arah, depan, belakang, samping kanan dan kiri, sampai tiada celah diantaranya, dan akan terus berlanjut hingga kiamat menjemput. Tiada hentinya mereka untuk menyesatkan manusia dari jalan Illahi Rabbi.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS 2:208).
“Kenapa aku jadi ingin membalas pesan dari dia ya? Kenapa aku merasa tertantang untuk berkomunikasi dengan dia lebih jauh lagi, Rabb? Apakah ini uji-Mu?”
“Kalau saja waktu itu aku beranikan diri untuk bertanya, mungkin saja jika dia seorang ahwat? Karena sejauh ini, tak pernah ia membahas hal-hal yang kurang berkenan, sesuai dengan batas-batas yang Engkau berikan?”
Entah ia sadari atau tidak. Jari-jari tangannya dengan cekatan menekan-nekan keypad, merangkai kata-kata singkat untuk membalas pesan dari…
“Waalaikum salam.
Alhamdulilah kabarku baik, aku pikir sudah tidak ada lagi informasi yang perlu kita sampaikan.
Bukankah kita tidak saling mengenal?”
Tak beberapa lama kemudian, pesan Zahra pun terjawab.
“Aku, hamba Allah. Saudara seiman kamu Uhtie…”
“Whaattt??? Saudara seiman??? Hanya itu jawabannya??? Aku mau jawaban, kamu ihwan atau ahwat??? Sudahlah percuma Zah…! Hapus dia secepatnya, tanpa pedulikan dia ihwan atau ahwat!”, pekik Zahra dalam hati, setelah mendapat jawaban yang tidak ia harapkan.
~ ~ ~ ~ ~
Dalam buaian sunyinya malam. Zahra terpekik oleh beberapa pesan yang masih tersimpan rapi di inbox hp-nya.
“Dimana ya ‘dia’ sekarang? Sudah beberapa minggu ini tidak pernah berkirim informasi lagi kepadaku?”, sambil membaca ulang beberapa pesan di hp-nya.
“Astaghfirullah Rabb… apa yang aku pikirkan? Berdosa sekali aku mengharap akan kehadirannya? Bukankah aku tidak tahu siapa gerangan dirinya? Apakah dia mahramku atau bukan? Ampuni kehilafan hamba-Mu ini Illahi Rabbi…”
Tak urung jua, setan benar-benar terkutuk. Tiada hentinya dia berdesas-desus untuk menimbulkan fitnah di hati insan manusia.
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS 2:169)
Belum terbangun dia dari sujud lailnyap, handphone Zahra kembali berdering. Dan ternyata orang yang sama. Entah apalagi yang ia kirim sekarang. Dengan rasa takut terhadap Illahi, Zahra membaca pesan itu.
“Kamu tahu sutradara dan actor terkenal Hollywood Mel Gibson???
Yang beberapa waktu lalu ditangkap oleh kepolisian setempat karena ngebut di jalanan dalam kondisi mabuk?”
“Rabb, bantulah aku. Berikan petunjuk-Mu. Dia datang disaat aku berada dalam kondisi terlemah, diantara iman dan keinginan.”
Setelah lama berpikir, antara jawab atau menghapusnya, dan membuangnya pada ujung kalbu terdalam. Akhirnya…
Benar-benar setan terkutuk. Dengan mudahnya dia membuat Zahra terpekur. Secara sadar dia menjawab pertanyaan yang mengundang jawab itu.
“Aku nggak tahu kalau dia ditangkap? Lalu apa istimewanya dari seorang Mel Gibson? Setahuku dia yang menyutradarai film “The Passion of Christ”, melalui film itu ia mengisahkan kehidupan Yesus 18 jam sebelum disalib, Gibson dengan tegas hendak mengatakan bahwa kaum Yahudilah yang sesungguhnya berada di balik penyaliban dan kesengsaraan Yesus. Film ini mendapat kecaman dan juga pujian di seluruh dunia. Selebihnya aku nggak tahu???”
Tak cukup sampai disini, perdebatan pun terus berlanjut.
“Ya, menariknya saat ditangkap polisi, Mel Gibson dengan berang berkata, “Semua orang Yahudi harus bertanggungjawab terhadap seluruh peperangan yang terjadi di muka bumi!
Hal ini membuat sang polisi terkejut. Ucapan Mel Gibson yang di AS merupakan tabu yang luar biasa dan akan memiliki implikasi yang sangat luas.”
Tak pernah terbersit dalam benak Zahra, kenapa ‘orang’ ini begitu antusias untuk selalu mengikuti perkembangan berita seputar AS dan para antek-anteknya dalam melawan islam. Dan, kenapa Zahra yang terpilih untuk perdebatan ini?
“Rabb, aku lelah dengan orang yang nggak jelas seperti dia. Mungkin memang sebaiknya aku sudahi sampai disini saja!”, selintas mencuat dalam benak Zahra.
“Ehmm, pasti dia akan menuai kesulitan. Aku yakin sekali, kelompok Zionos Amerika tidak akan tinggal diam dengan perbuatan yang Gibson lakukan! Aku rasa cukup sampai disini. Aku masih ada pekerjaan! Terimakasih !”
Itulah pesan dan keputusan terakhir yang diambil Zahra.
~ ~ ~ ~ ~
Tiada lagi dering Bring Me to Life-nya Evanescence dari ponsellnya. Dia, yang sebelum ini selalu Zahra harapkan kehadirannya, membawa pesan-pesan hangat dan menggugah minat.
Entah apa yang Zahra rasakan kini. Kemana ia akan mencari teman sebaik dia-entah seorang ikhwan atau akhwat.
Hanya rebahan ditempat tidur sambil mendengarkan suara Keith Martin yang melantunkan Because of You dari music player. Masih terngiang dibenaknya. Enam bulan lalu, suasana seperti ini yang membuat ia teringat kembali akan pesan pertama yang datang padanya. Namun kini, entah dimana gerangan.
Kembali ia melihat ponsellnya, bimbang akan keputusan yang baru saja terlintas dalam benaknya.
“Aku tak kuasa Rabb… baru ku sadari, aku sangat merindukan kehadirannya. Tak Kau berikan petunjuk-Mu. Apakah dia sama halnya dengan aku? Apakah dia juga seorang muslimah, seperti halnya dengan aku? Berjilbab dan berkerudung? Indahnya jikalau ku dapati seorang saudara seiman yang secerdas dia!”
“Apakah sebaiknya, aku berkirim pesan ke dia. Sekedar untuk bertegur sapa menjalin silaturahmi, sekedar menanyakan kabar. Tapi, kalau dia ihwan bagaimana?”
Berbagai tanya, berkecamuk dalam diri Zahra.
“Ah, kenapa tidak aku coba dulu? Mungkin saja dia Ahwat?”
Dengan mengucap basmalah, Zahra menuliskan e-mail ke dia.
Subject : Assalamualaikum Uhtie!
Bagaimanakah kabar Uhtie sekarang? Lama tidak berkirim kabar. Apakah Uhtie dalam keadaan baik? Sebelumnya aku minta maaf, entah dengan apa aku harus memanggil Anda. Karena selama ini aku terlalu takut untuk bertanya. Aku selalu berharap bahwa kamu seorang Ahwat.
Hormatku,
As Zahra
Pesan pun telah terkirim. Dan tidak ada jawaban sekalipun dari dia. Kian hari hati Zahra semakin dirundung gelisah. Apakah saudaranya yang seiman berada dalam kondisi yang baik.
“Rabb, aku selalu dirundung gelisah. Haruskah ku beranikan diri untuk mencari tahu tentang dia?”
Dua hari berlalu. Tiada pesan pun yang mangkal di ID e-mail maupun ponsellnya.
Sebuah keputusan besar telah diambil oleh seorang Zahra.
Tuuut… tuuuttt… tuuttt…
Lama ia menunggu sambungan telfon dari seberang. Menanti jawab dan sambutan salam hangat yang ia harapkan adalah suara seorang Akhwat, saudara seiman.
Tetap tidak ada jawaban.
“Kalau sekali lagi aku coba masih juga tidak ada jawab, aku akan berhenti sampai disini. Mungkin memang Allah mengirimkan dia, hanya untuk singgah sementara dalam hidupku.”
Sekali lagi Zahra mencoba.
Seketika kegelisahan meruak dalam dadanya.
Nada dering yang seperti suara kereta berderum, ritme yang sejalan dengan degup jantungnya yang gelisah. Tiba-tiba terhenti sebagai tanda jawaban dari seberang.
Sunyi… sepi… tiada suara…
Dan…, terucaplah sebuah salam yang hangat dari seberang.
Belum sempat Zahra membalas salam itu, namun hati dan bibirnya telah keluh terlebih dahulu. Semburat penyesalam dan kebencian menggurat dalam wajah ayunya. Badannya lemas tak bertenaga. Bahkan tak kuasa tuk memutus sambungan telfon.
“Di… dia… seorang ik.. ikhwan…???”, pekik Zahra dalam hatinya yang kecewa.
“Ohh Rabb.. ampuni aku. Jadi selama ini aku… aku menyesal Rabb…!”
Suatu penyesalan yang seolah tiada akhir. Ribuan maaf mungkin takkan bisa mengobati luka dihati karena kecewa. Selama ini dia selalu berusaha menjaga kehormatan dan menghindari fitnah, namun kini tengah terjebak dalam dilema yang menyesakkan. Tidak seharusnya ia berlama-lama dan mengharapkan kehadiran seseorang yang ternyata bukan mahramnya. Dia terjerat dalam sebuah penyesalan. Kenapa bisa seceroboh ini? Kalau dia memang seorang Akhwat, pastilah tidak akan menyembunyikan identitas sebenarnya.
Segera ia bersujud kehadirat Illahi atas kehilafannya. Surah At’taubah ia baca sebagai pelengkap permohonan ampun kepada Sang khalik.
Kamu (umat islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah… (QS 3:110).
~ ~ ~ ~ ~
Tiada lagi ia mengharapkan pesan-pesan yang ia anggap penuh kemudharatan, karena tidak dilandasi kejujuran dari sang pengirim. Tiada lagi ia membuka e-mail dan berharap secuil pesan dari dia yang telah melukai hati seorang yang mengharapkan saudara seiman dengan membawa keridhoan Sang Khalik.
Sampai suatu hari sepulang dari kampus. Berjalan menuju tempat kostnya, yang tak seperti biasa, begitu penuh disesaki kerumunan orang dalam langkah kaki mereka yang menyiratkan kesedihan dan duka yang dalam. Tak ada suara dari bibir-bibir yang terkatup dan mata yang sembab karena linangan air mata. Puluhan mahasiswa dengan jaket almamaternya, berkumpul dan tertunduk lesuh di sebuah serambi rumah. Beberapa dari mereka dikenal Zahra sebagai teman satu angkatan dari fakultas kedokteran gigi.
Disisi lain tempat mereka terduduk, berkumpul beberapa Akhwat lengkap dengan gamis dan kerudung yang menutup sepanjang dada mereka, yang Zahra kenali mereka sebagai muslimah dari sebuah perkumpulan aktifis dakwah kampus, yang beberapa hari gencar menyoalkan perlawanan terhadap para Zionos barat dan para misionaris yang melawan islam dengan terang-terangan.
“Ada apa ini? Kenapa mereka semua nampak tertuduk lesuh?”, tanya Zahra pada salah seorang teman kostnya yang juag kebetulan berada di sana.
Dan tanpa terucap sepatah katapun, dia menunjukkan pada sebuah bendera berwarna kuning di depan gang menjuju tempat kostnya, sebagai tanda duka cita yang mendalam atas apa yang mereka rasakan.
Dengan tanggap, Zahra langsung bisa memahami petunjuk yang diberikan temanya itu.
Namun tak habis pikir, siapa yang meninggal?
“Aku yakin sekali, dia yang telah pulang ke rahmatullah, adalah benar-benar hamba yang sangat diharapka kehadiranya disetiap kesempatan. Berbagai macam orang dari berbagai kalangan datang dan iktu serta dalam mengiring kepergiannya. Suatu persembahan terakhir yang bisa mereka lakukan, untuk seorang yang benar-benar mereka harapkan semasa hidupnya!”, bisik Zahra dalam hati.
“Bagaimana ia meningal?”, tanya Zahra pada temannya.
“Dia meninggal dalam dalam sholatnya, saat melaksanakan sholat Dhuha. Dari kabar yang aku dengar, dia tidak dapat lagi melanjutkan studinya sebagai seorang dokter gigi, karena kanker otak yang ia derita. Sejak setahun terakhir, ia aktif dalam kegiatan dakwah, sebagai seorang trainer.”
“Kamu pasti tahu orangnya. Yang setiap pagi selalu duduk di kursi roda, dekat jendela kamarnya. Sejak sebual terakhir, penyakitnya sudah tidak dapat di control, dia tidak mau melakukan kemoterapi. Dia habiskan sisa hidupnya hanya dengan duduk di depan computer, dan berdakwah malalui internet. Namanya Mas Isman!”
~ ~ ~ ~ ~
Masih ada sisa-sisa kehampaan sekaligus kekaguman pada prosesi pemakaman tadi. Zahra teringat akan kematian, yang masih menjadi rahasia bagi setiap insan. Dan kehadirannya tidak dapat kita tunda maupun kita tolak. Hanya, bagaimana kita benar-benar memanfaatkan sisa hidup kita untuk hal yang bermanfaat, sebelum ajal menjemput.
Ia membuka kembali laptopnya, untuk mencari pesan dari sahabat lama di tanah rantau. Dan tanpa sengaja Zahra membuka pesan yang datangnya dari ‘dia’ yang telah masuk dalam ‘Black List’nya Zahra selama beberapa bulan terakhir.
Subject : Assalamualaikum Ukhtie!
Mungkin, saat kau baca pesan ini. Aku sudah tidak berada dalam dunia yang fana’ ini.
Mungkin aku jasadku sudah dikerubuti cacing-cacing dan serangga-serangga lainnya, di liang sana! Naïf banget ya?
Ukhtie, aku yakin kamu pasti sudah pernah membaca novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Bukankah itu merupakan bacaan yang sempat membuat kau terpukau. Aku mengutip dari sebuah artikel.
Jika dicermati, Ayat-ayat Cinta adalah novel cinta yang romantis namun sekaligus sangat Islami. Dalam sebuah diskusi novel tersebut di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), salah seorang pembicaranya, yakni Ahmadun Yosi Herfanda, menilai novel Ayat-ayat Cinta sebagai salah satu 'karya puncak' (kanon) dari fenomena fiksi Islami yang belakangan menjadi mainstream yang sangat kuat dalam khasanah sastra Indonesia mutakhir -- sebuah mainstream yang mampu mengimbangi fenomena sastra sekular (seksual) yang banyak dilahirkan oleh para perempuan penulis semacam Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu, Fira Basuki dan Dinar Rahayu.
Mengutip pendapat Ahmadun, karya-karya para penulis fiksi Islami, seperti Asma Nadia, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan Fahri Aziza -- baik cerpen maupun novel -- sebenarnya adalah fiksi-fiksi romantis; namun dikemas secara Islami dengan penggarapan tema dan konflik-konfliknya secara Islami pula.
Demikian pula Ayat-ayat Cinta. Namun, kemahiran Habib dalam menuturkan kisah cinta di dalamnya menjadikan novel tersebut sangat memikat dari awal sampai akhir. Sementara, latar cerita (setting) di dunia Islam, terutama kehidupan mahasiswa dan masyarakat Islam Mesir, menjadikan novel itu sangat hidup sekaligus kaya citraan budaya Islam.
Kali ini aku mengambil tema Ayat-ayat cinta, dan berharap masih ada sedikit celah maaf dan keridhoan dari hati sucimu.
Ukhtie, aku tidak bermaksud demikian. Aku tidak ada maksud menyakiti hati dan perasaanmu, terutama kepercayaan tulus dan besarnya kepercayaan darimu. Aku sangat menghargai Ukhti, sebagai wanita muslimah yang sholehah.
Entah mungkin hanya sebuah mimpi buatku. Bisa mengagumimu dan walaupun hanya sekilas saja memandangmu setiap pagi dari jendela kamarku, sudah membuatku bersyukur.
Aku bukanlah siapapun dan aku bukanlah apapun. Aku hanya seorang hamba yang lemah dan penuh dosa. Telah ku nodai perasan tulus dan sucimu, yang mengharapkan sanjungan silaturrahmi akan saudara seiman.
Dari awal perkenalan, aku sengaja tidak membuka identitasku, karena aku takut kau tidak akan menerima kehadiranku sebagai seorang Ikhwan.
Jilbab dan gamismu yang setiap saat tak pernah tanggal, semakin membuat aku mengagumimu. Maafkan aku, jikalau sudah mencuri pandang padamu tiap pagi. Tiap kau melintas di depan rumahku.
Dari ujung jendela ini, aku selalu memperhatikan tiap gerak langkahmu, yang penuh dengan semangat juang dan hidup.
Betapa mulia dan berhati-hatinya kau dalam menjaga diri dan fitrah dari fitnah setan. Dan aku memutuskan untuk mundur, ketika kau mengira bahwa aku adalah seorang Akhwat.
Aku tidak ingin berbohong, maka aku memutuskan pergi.
Ukhtie, melalui kedua tangan dan jari-jarimu, perjuangkanlah kemerdekaan saudara-saudara kita sesama muslim. Ciptakan generasi muda yang sarat dan haus akan bacaan dan informasi. Generasi muslim yang syar’i dan penuh cinta Illahi, dengan 'jihad bil qolam' (berjihad dengan pena).
Aku pikir kehadiranku tidak sepatutnya mengusik ketenanganmu. Aku memutuskan untuk menyudahi semua ini, namun aku sangat bersyukur kau masih mempertanyakan keadaanku.
Mungkin tak layak jika ku minta maafmu. Dan disisa masa hidupku, sebelum aku pulang ke rahmatullah, aku mohon keikhlasan dan keridhoanmu, Uktie!
Maafkan aku ukhtie! Mungkin aku akan sangat menyesal sekali…
Hormatku,
Isman.
“Isman??? Bukankah dia yang…”, tanpa ia sadari, linangan iar mata membasahi jilbab putihnya.
“Dia yang setiap pagi selalu menegurkan salam padaku. Dia yang setiap pagi selalu menebarkan senyum ke arah setiap orang yang memandang. Dia yang setiap pagi selalu terduduk di kursi roda di bawah jendela kamarnya.”
“Dua pula orang yang selama ini aku benci karena persinggahan pesan-pesan tanpa permisi itu, sekaligus sebagai orang yang sangat aku kagumi karena kegigihannya dalam menjalankan hidup. Dan dia juga yang….”
“Tadi pagi telah berpulang ke rahmatullah, karena kanker otang yang ia derita. Oh… Illahi Rabbi… ampuni hambamu ini.”
“Ayat-ayat Cinta? Ah.. naïf sekali dia!”, semyum kebanggan terbersit diantara bibir manisnya.
“Rabb, apa hakku menghakimi dia? Dan apa hakku tak memberikan maaf padanya? Bukankah aku hanya hamba yang berkelimang dosa?”
“Berikan aku keikhlasan hati untuk sebuah maaf yang tulus untuknya Rabb…! Hanya kepada-Mu, kami akan kembali!”
~ ~ ~ ~ ~

Selasa, 18 Mei 2010

Mimpi Buruk dengan Minyak Kelapa !!


Kelapa merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman hayati yang memiliki nilai lebih dalam hidupku. Tanaman ini dari segi ekonomi memiliki nilai yang tinggi, karena hampir dari semua bagiannya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun kelapa pernah menorehkan sejarah yang kelam dalam masa kecilku.

Pada masa dulu, orang tua banyak yang memanfaatkan buah kelapa untuk dijadikan minyak. Tidak tanggung-tanggung, minyak yang dimaksud disini adalah minyak rambut. Entah bagaimana proses pembuatannya, hingga buah kelapa itu berhasil disulap oleh nenekku menjadi minyak kelapa atau lebih tepatnya minyak kelapa untuk rambut.
Berasal dari adat atau kebiasaan orang tua masa dulu yang meyakini bahwa minyak kelapa bisa menghitamkan rambut, maka aku adalah salah satu bocah yang dijadikan objek eksperimen atau korban dari kebiasaan di masa itu. Setiap sebulan sekali, nenekku selalu membuat ramuan minyak rambut dari kelapa. Sangat ku ingat betul bagaimana nenek mengungkapkan betapa “wanginya” minyak rambut dari kelapa itu kalau dipakai. 

Setelah buah kelapa itu disulap dan melalui proses penggorengan menjadi minyak rambut, dengan bangga nenek mengatakan…

“Tias, nenek sudah buatkan minyak rambut buat kamu!!!!! Biar rambut kamu itu hitam… nggak merah kayak rambut jagung  !!!”…… aaarrghh…….. that’s nightmare for me!!!!!
Kejadian ini berlangsung ketika aku masih duduk di bangku SD. Dulu setiap akan berangkat ke sekolah, rumahku selalu dalam kondisi yang heboh. Penuh dengan teriakan, tangisan, rontaan, dan tendangan kecil tak bermaknaku, ketika ibu juga sepakat dengan nenek untuk melumuri rambutku dengan minyak kelapa. Minyak ini kalau dipakai dalam jangka panjang menimbulkan bau tengik yang sangat!!!! 

Tias kecil, harus selalu menanggung beban bau minyak kelapa di kepala setiap akan berangkat sekolah. So bad story…., yah ku akui walau apa yang dikatakan nenek memang benar. Bahwa minyak kelapa mampu dengan sukses menghitamlegamkan rambut, dan juga sukses memporak-porandakan masa kecil ku …

THE ENVIRONMENTAL PROBLEM : IT’S CAUSES AND ISLAM SOLUTION



BKIM & HIMALIKA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Minggu, 16 Mei 2010. Bertempat di gedung LIPI Bogor lantai dua, telah diselenggarakan Diskusi Terbuka dengan tema “The Environmental Problem : it’s Causes and Islam Solution”. Kegiatan ini diselenggrakan atas kerja sama BKIM (Badan Kerohanian Islam Mahasiswa) IPB dan HIMALIKA (Himpunan Mahasiswa Lingkungan) IPB. Diskusi terbuka ini dihadiri lebih dari 90 peserta eksternal yang terdiri dari kalangan intelektual -mahasiswa, dosen, dan aktivis-aktivis dakwah kampus-, tidak hanya mereka yang memiliki latar belakang program studi dibidang lingkungan, tetapi juga dari bidang keahlian lainnya di luar lingkungan.

Dalam data base panitia tercatat bahwa peserta berasal dari latar belakang bidang keahlian yang beraneka ragam seperti mahasiswa dari Diploma IPB dengan basic program studi keahlian Teknik dan Manajemen Lingkungan, Manajemen Agribisnis, Perkebunan Kelapa Sawit, Akuntansi, serta mahasiswa dari Politeknik Kent Bogor dengan program studi keahlian Teknik Komputer, mahasiswa dari Universitas Indonesia, ST Perikanan Bogor, Universitas Gunadharma, dan Analisis Kimia Bogor.

Diskusi terbuka menyikapi masalah kerusakan lingkungan ini merupakan suatu kegiatan yang langka, karena jarang diadakan terutama dengan mengangkat tema islam sebagai problem solver untuk permasalahan lingkungan. Kegiatan dimulai dengan pembukaan dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dibawakan oleh saudara Agus Nuryanto (Ketua Harian BKIM Diploma IPB). Dilanjutkan dengan sambutan dari ketua pelaksana Yudith Sand Faundry (Ketua HIMALIKA) dan testimony dari salah satu kandidat calon Duta Lingkungan IPB, saudara Arif dari program keahlian Perkebunan Kelapa Sawit Diploma IPB.

Acara inti dimulai pada pukul 09.00 WIB yang dipandu oleh saudara Bayu (Fakultas Kehutanan IPB). Diawali dengan pemutaran video tentang gambaran kondisi fakta kerusakan lingkungan di Indonesia, peserta mulai terbuka pemikirannya akan mirisnya kondisi lingkungan dan sumberdaya alam di negeri ini yang dikuasai oleh asing. Materi disampaikan oleh Dr. Ing. Fahmi Amhar (Peneliti Utama IV/e Bidang Sistem Informasi Spasial di BAKORSURTANAL Indonesia, Dosen PPS di IPB, dan Universitas Paramadina Jakarta, sekaligus DPP Hizbut Tahrir Indonesia).

Dr. Fahmi memulai pemaparan materi dari pengungkapan fakta dibalik isu global warming. Negara-negara maju seperti AS mencuatkan fitnah bahwa sumber global warming yakni gas rumah kaca yang banyak diproduksi oleh dunia islam akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali (karena penolakan program KB). Namun fakta yang sebenarnya yakni, sumber emisi gas CO2 terbanyak diproduksi dari penggunaan energi dari bahan bakar fosil (transportasi dan industri). Emisi gas rumah kaca terbesar diproduksi oleh negara-negara maju yang tergolong dalam G-8 (AS, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, Perancis, Itali, dan Rusia) sebesar 68% dari emisi total CO2 dunia. Berbagai konferensi dunia untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan berakhir dengan kesia-siaan. Karena keengganan negara-negara maju untuk ikut meratifikasi dan membuat perjanjian dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Negara-negara dunia ketiga menyadari bahwa terdapat factor institusional yang sulit diatasi, negara-negara maju merasa sudah berada di zona aman. Selain itu, di dunia tidak ada skema ekonomi alternative yang global.

Terdapat diantaranya tiga solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi isu dan permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Pertama dengan merubah pola pikir dan sikap individu dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kedua dengan melakukan dan mencari terobosan teknologi yang ramah lingkungan. Dan yang ketiga yakni revolusi atau perubahan pada sistim yang diterapkan saat ini. Semakin jelas, untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis memerlukan paradigma dan sistim ekonomi-politik global yang baru. Sistim politik-ekonomi kapitalis-sekuler global terbukti gagal. Perlu adanya sistim alternative yang bersandar pada Sang Pencipta Yang Maha Tahu, Alloh SWT berfirman : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin yakni sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.

Kegiatan dilanjutkan dengan dua kali sesi tanya jawab untuk enam orang penanya. Diakhiri dengan closing statement dan kesimpulan oleh moderator. Sebagai penutup ada persembahan puisi dan akustik dari panitia. Puisi dibawakan oleh saudara Udan dari program keahlian Akuntansi Diploma IPB, dan akustik oleh Rendy dari program keahlian Teknik Komputer, Politeknik Kent. Diakhiri dengan doa oleh saudara Ujang. Kegiatan diakhiri tepat pada pukul 12.00 WIB. Demikianlah kegiatan diskusi terbuka ini berlangsung, semoga dapat bermanfaat dan mampu menginspirasi kita untuk lebih giat dalam mendesain uslub dakwah. Wallahu’alam Bishshowab. (Telaga Kautsar)