Kamis, 20 Mei 2010

Pesan untuk Uhtie


30 Juni 2007

Hati dan pikiran gadis bergamis ini tengah melayang-layang terbawa oleh suara Keith Martin yang melantunkan Because of You. Suasana kamar kosnya yang begitu tenang, diselimuti desau lirih hilir mudik tiupan angin dari baling-baling kipas di atap kamar. Membuat matanya terjerembab dalam kantuk.

…wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark
Bid my blood to run, before I come undone…

“Aaaccchhhggg….”

Hampir saja Zahra menjerit kalau ia tidak ingat berada di lingkungan kos. Ketenangannya terusik oleh nada dering sms, yang kontras melantunkan Bring Me to Life-nya Evanescence. Begitu saja mencuat dari handphone-nya tanpa permisi, tergeletak ditempat tidur.

Dengan cekatan jempol tangan kanannya menekan-nekan keypad dan segera membaca pesan yang masuk di inbox. Sesuatu menahan tatap matanya untuk terus melototi pesan singkat yang baru saja singgah di hp-nya.

“Apa maksud pesan ini? Siapa yang mengirim?”

“Tapi… wow..!”, bibirnya yang mungil membulat memerah.
“Benarkah aku telah melewatkan berita besar ini? Nggak mungkin??”, ketidakpercayaan, membuka matanya selebar kertas koran. He…he…he…
“Assalamualaikum, Uhti!
Salman Rushdi, telah mendapat gelar ksatria dari Ratu Elizahbeth, Inggris. Atas keberaniannya dalam membuat sebuah karya yang controversial. Saya yakin anti belum tahu?!”

“Salman Rushdi??? Sebentar… kalau nggak salah… Dia…!!!”

Diam sejenak, berusaha membuka kembali memorinya yang penuh dengan nama-nama ilmiah...
Bahkan terlalu sulit untuk membedakan antara Plante helmintes, Planaria, Aurelia aurita, dan…

“Apa hubungannya dengan Salman Rushdi????”, dia menjerit dalam hati.

Putus asa, karena belum juga bisa mengingat siapa ‘Salman Rushdi’. Menyesal, bagaimana seorang Zahra bisa melewatkan berita sebesar itu. Berdiam diri??? Bukan suatu langkah yang tepat.

… wake me up inside
Wake me up inside…

Ponsellnya berdering kembali. Tanpa ba…bi…bu…, langsung ia baca pesan yang masuk.
“Azz, kenapa diam??? Kasih komentar donk!!!!
Atau jangan-jangan…, kamu memang benar nggak tahu berita besar ini???”

Sayangnya kamu benar. Saat ini aku tidak bisa mengingat siapa Salman Rusdie. Mungkin memang sebaiknya aku jujur, telah melewatkan berita sebesar ini.
Baru saja Zahra akan me-replay pesan dari….

“Ahh… ya… aku sekarang ingat! Awas kamu ya! Dia pikir aku se-telmi ini? Untuk ukuran berita selangka ini, aku harus nyerah pada…? Pada siapa ya? Siapa yang mengirim pesan ini?”

Tanpa komando, Zahra berusaha mencari dan membuka kumpulan CD yang berisikan file-file dan dokumen tentang perkembangan informasi dalam dunia islam. Zahra kini mulai membuka kembali memorinya yang terpendam tentang sosok Salman Rushdi ‘terkutuk’ yang sangat ia benci.

“Salman Rushdi lahir di kota Devanegari, Bombai India pada tanggal 19 Juni 1947. Orang yang pernah mendapat hadiah sastra inggris Booker prize karena novel Midnight’s Children yang ia tulis tahun 1981.”

“Sebentar, kalau nggak salah…”, mata dan jemarinya begitu liar membaca dan menelusuri data-data di laptopnya.

“Jangan-jangan yang ia maksud tadi, ada hubunganya dengan…”

“The Satanic Verses. Buku yang paling menyedot perhatian seluruh umat muslim sejagad, yang dikenal dengan nama Ayat-ayat Setan, buku yang ia tulis tahun 1988. Padahal kalau boleh jujur, novel Ayat-ayat Cinta-nya Habiburahman lebih menarik lho. Bahkan aku sampai membayangkan, akan kehadiran seorang Ikhwan sholeh yang akan datang untuk meminangku dengan cara yang syar’i. he…he…he…”

Tidak ingin membuang kesempatan langkah, untuk membuktikan bahwa ia selalu mengkuti perkembangan informasi, walaupun terkadang agak telat. He…he..he..
Zahra langsung me-replay pesan dari…

“Waalaikum salam!
Tentang Salman Rushdi,, apa berhubungan dengan novel The Satanic Verses yang ia tulis pada 1988? Yang menuai kecaman dari berbagai kalangan umat muslim itu ya?”

Tak berselang lama, pesan yang baru saja Zahra kirim mendapat balasan dari…

“Zah… kamu ada e-mail nggak??
Mungkin lebih asyik kalau kita bertukar e-mail. Bisa lebih lengkap tulis kata-katanya.”

“E-mail??”

Bingung? Gamang? Itulah yang kini dirasakan Zahra. Dia tidak sadar akan ancaman belenggu setan yang tiap saat selalu mengintai.

“Rabb, pertanda apa ini buatku? Aku tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba saja muncul, dengan membawa semua yang aku cari selama ini. Seorang teman yang bisa diajak ‘share’ untuk memuaskan rasa hausku akan informasi.”

“Nggak akan ada masalah kalau dia seorang Ahwat. Tapi aku tidak tahu, dia Ahwat atau Ihwan ya?”

“Terlambatkah untuk menghentikan semua ini?Bukankah tidak ada maksud buruk diatara kami?.”

Gadis manja ini, terenyuh sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan pesan singkat yang baru saja nangkring di hp-nya. Antara membalas pesan singkat itu, atau…
“DIBIARKAN SAJA DAN CERITA INI BERHENTI SAMPAI DISINI????”
“Sayang banget, punya teman se-asyik ini kalau disia-siakan”, pekik Zahra dalam hati.

Ehh… boleh juga ide kamu!
azz_zahra_rvd@yahoo.co.id.
Aku tunggu informasi selanjutnya ya!

Pesan balasanpun terkirim. Dan, cerita pun dimulai.
“Informasi selanjutnya??? Astaghfirullah… seolah aku sangat mengharap akan kehadirannya kembali. Padahal, aku tidak tahu dia seorang ihwan atau ahwat?”
Gemuruh tanya itu, silih berganti meruak dalan dada Zahra.
~ ~ ~ ~ ~
…. wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark…
“Auwcghhh… Dasar hp sialan!!!”, konsentrasi Zahra terpecah ketika mendengar dering handphone-nya.
“UpzZ… Astaghfirullah! Ngomong apa aku ini?”, dagu mungilnya, harus rela tertusuk jarum karena keterkejutannya saat mengenakan kerudung.
“Assalamualaikum Uhti!
Dua hari yang lalu, aku berkirim pesan ke e-mail kamu!!! Kenapa tidak ada jawaban dari Uhti???”
Tanpa pikir panjang dan perlu me-replay pesan yang baru saja ia baca, Zahra langsung membuka laptopnya dan membaca e-mail yang memang sudah nangkring di ID-nya selama dua hari.
Subject : Gelar ksatria Salman!
Iya benar. Setelah adanya fatwa mati yang dikeluarkan Imam Khomeini 18 tahun lalu,ia melarikan diri ke Inggris dan mendapat perlindungan dari para musuh islam disana. Beberapa waktu lalu, Ratu Elizabeth memberikan gelar ksatria karena keberaniannya membuat sebuah karya yang controversial, dan sekaligus menginjak-injak harga diri umat muslim dan agama islam. Menurut kamu, apa motivasi Salman menulis novel itu??
Hormatku,
x_light
Subject : Uhti!!!
Uhtie… kenapa belum juga ada jawaban?
Aku sangat berharap, Anda bersedia memberikan sedikit komentar tentang informasi ini!
Hormatku,
x_light
“Oh… Rabb.. apa yang harus aku lakukan? Salahkah aku jika membalas pesan dari ‘dia’ yang tidak aku kenal, hanya sebatas untuk bertukar informasi?”
“Bukankah selama ini kami tidak pernah saling membahas masalah pribadi dan melawati batas-batas yang Engkau berikan?”
Subject : Re-gelar ksatria!
Dari informasi yang aku dapat, sepertinya hal ini berhubungan dengan sejarah kehidupannya. Waktu masih bersekolah dan tingal di asrama, Inggris. Salman sempat menjalin cinta dan menikah dengan seorang temannya sesama jenis bernama Umar. Bahkan mereka sebagai pencetus pernikahan sesama jenis. Karena hal ini menuai banyak kecaman, mereka pun dipisahkan. Kekasih Salman, yang seorang anak Mesir itu, membakar dirinya karena begitu mencintai Salman dan tidak ingin dipisahkan. Sejak kamatian Umar, ia bersumpah akan membalas dendam kepada agama-agama, terutama islam. Bagaimana menurutmu???
Hormatku,
As Zahra
Setelah yakin, Zahra langsung mengirimkan pesan balasan yang baru saja selesai ia ketik. Setelah pesan benar-benar telah terkirim, Zahra membaca kembali pesan yang baru saja ia ketik. Dan seketika, raut penyesalam menyeliuti wajahnya.
“Kenapa tadi aku mengetikkan kata ‘Bagaimana menurutmu?’. Bukankah itu akan semakin membuat hal ini berlanjut. Seharusnya aku sudahi saja bertukar pesan ini. Atau, sebaiknya aku bertanya, dia seorang ihwan atau ahwat? Tapi… sepertinya hal itu kurang sopan!”, Zahra hanya bisa menarik napas panjang.
Tak berselang lama kemudian, pada layar laptopnya muncul pesan baru.
Subject : Musuh islam…
Ya, mungkin itu alasannya. Karena bila kita jeli melihat hasil karyanya, kebanyakan isinya menghina agama dan keyakinan masyarakat setempat.
Dalam bukunya Grimus (1975), secara terang-terangan ia menghina keyakinan orang-orang India.
Buku Shame (1983) ditulisnya juga dengan isi yang sama.
Midnight’s Children (1981) ditulis mengkritik perjuangan rakyat India untuk mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris.
Bukunya The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey (1987) terkait dengan situasi politik di Nikaragua dan keyakinan masyarakatnya.
Puncak penghinaannya terhadap agama dengan menulis novelnya yang berjudul The Satanic Verses (1988). Ia menulis buku ini pada usia 47 tahun. Sebelum ia menulis buku ini, ia ikut hadir dalam sebuah pertemuan yang bermaksud untuk menghancurkan agama tidak lagi dengan senjata, tapi dengan tulisan. Tujuan itu terealisasikan dengan diterbitkannya buku ini.
Hormatku,
x_light
“Cukup Zah… dia sudah tidak meminta pendapatmu lagi. Matikan laptopmu dan tenangkan hati serta pikiranmu”, pekik Zahra pada dirinya sendiri.
“Subhanallah… aku lupa! Aku harus mengikuti kegiatan training pagi ini! Ah, cukup sudah. Jadwalku jadi terbengkalai karena memuaskan rasa penasaranku.”
Satu kesalahan lagi yang dilakukan Zahra. Seharusnya dia menghapus semua pesan-pesan itu, agar tidak menimbulkan ‘candu’, jika suatu saat tidak sengaja membacanya kembali.
Apa yang akan terjadi dengan Zahra selanjutnya?
~ ~ ~ ~ ~
Hari-hari pun telah berlalu sejak terkirimnya pesan-pesan terakhir itu. Tiada yang berubah, Zahra dengan jilbab dan kerudung yang melengkapi identitasnya sebagai muslimah sejati, masih berkutat dengan aktifitasnya sehari-hari dengan tinta dan kertas untuk menyalurkan khayal dan imajinya tentang kehidupan.
…wake me up inside
Wake me up inside
Call my name and save me from the dark
Bid my blood to run, before I …
Beberapa tatap mata dari pengunjung perpustakaan kampus, yang sebagian besar berkaca mata itu, seketika tertuju pada arah sumber suara itu datang. Malu dan bingung, itulah yang dirasakan Zahra saat itu. Karena sumber suara itu berasal dari hp-nya. Ia baru menyadari bahwa ia lupa men-silent nada dering ponsellnya.
“Euchg… untuk yang kesekian kalinya, ‘Evanescence’ membuatku terpojok”, dengan dongkol, langsung ia baca pesan singkat yang nangkring di inbox hp-nya.
“Assalamualaikum Ukhtie!
Bagaimana kabar kamu?? Lama ya, kita nggak tukar informasi!?”
Terkejut melihat pesan yang ia dapat, tanpa sengaja Zahra menjatuhkan buku ‘The Madness of God’ karya Da’ud Ibn Ibrahim Al-Shawni, yang baru saja ia ambil dari rak buku agama.
Konsentrasinya terpecah setelah membaca pesan tersebut. Biarpun singkat, tapi tak perlu dipungkiri bahwa Zahra juga merasa kehilangan sosok seorang teman yang selama ini dia cari. Sekuat apapun dia memusatkan pikiran untuk tidak memperdulikan pesan tersebut, namun batinnya tak cukup kuat menerima uji sekecil itu.
Dasar setan, benar yang dituturkan dalam Al-Qur’an, bahkan memang tidak ada keraguan di dalamnya. Mereka (para setan, beserta antek-anteknya) akan terus berusaha menjerumuskan manusia, seperti halnya yang telah dilakukan iblis (nenek moyang setan) terhadap Adam dan Hawa. Dia akan datang dari segala arah, depan, belakang, samping kanan dan kiri, sampai tiada celah diantaranya, dan akan terus berlanjut hingga kiamat menjemput. Tiada hentinya mereka untuk menyesatkan manusia dari jalan Illahi Rabbi.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS 2:208).
“Kenapa aku jadi ingin membalas pesan dari dia ya? Kenapa aku merasa tertantang untuk berkomunikasi dengan dia lebih jauh lagi, Rabb? Apakah ini uji-Mu?”
“Kalau saja waktu itu aku beranikan diri untuk bertanya, mungkin saja jika dia seorang ahwat? Karena sejauh ini, tak pernah ia membahas hal-hal yang kurang berkenan, sesuai dengan batas-batas yang Engkau berikan?”
Entah ia sadari atau tidak. Jari-jari tangannya dengan cekatan menekan-nekan keypad, merangkai kata-kata singkat untuk membalas pesan dari…
“Waalaikum salam.
Alhamdulilah kabarku baik, aku pikir sudah tidak ada lagi informasi yang perlu kita sampaikan.
Bukankah kita tidak saling mengenal?”
Tak beberapa lama kemudian, pesan Zahra pun terjawab.
“Aku, hamba Allah. Saudara seiman kamu Uhtie…”
“Whaattt??? Saudara seiman??? Hanya itu jawabannya??? Aku mau jawaban, kamu ihwan atau ahwat??? Sudahlah percuma Zah…! Hapus dia secepatnya, tanpa pedulikan dia ihwan atau ahwat!”, pekik Zahra dalam hati, setelah mendapat jawaban yang tidak ia harapkan.
~ ~ ~ ~ ~
Dalam buaian sunyinya malam. Zahra terpekik oleh beberapa pesan yang masih tersimpan rapi di inbox hp-nya.
“Dimana ya ‘dia’ sekarang? Sudah beberapa minggu ini tidak pernah berkirim informasi lagi kepadaku?”, sambil membaca ulang beberapa pesan di hp-nya.
“Astaghfirullah Rabb… apa yang aku pikirkan? Berdosa sekali aku mengharap akan kehadirannya? Bukankah aku tidak tahu siapa gerangan dirinya? Apakah dia mahramku atau bukan? Ampuni kehilafan hamba-Mu ini Illahi Rabbi…”
Tak urung jua, setan benar-benar terkutuk. Tiada hentinya dia berdesas-desus untuk menimbulkan fitnah di hati insan manusia.
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS 2:169)
Belum terbangun dia dari sujud lailnyap, handphone Zahra kembali berdering. Dan ternyata orang yang sama. Entah apalagi yang ia kirim sekarang. Dengan rasa takut terhadap Illahi, Zahra membaca pesan itu.
“Kamu tahu sutradara dan actor terkenal Hollywood Mel Gibson???
Yang beberapa waktu lalu ditangkap oleh kepolisian setempat karena ngebut di jalanan dalam kondisi mabuk?”
“Rabb, bantulah aku. Berikan petunjuk-Mu. Dia datang disaat aku berada dalam kondisi terlemah, diantara iman dan keinginan.”
Setelah lama berpikir, antara jawab atau menghapusnya, dan membuangnya pada ujung kalbu terdalam. Akhirnya…
Benar-benar setan terkutuk. Dengan mudahnya dia membuat Zahra terpekur. Secara sadar dia menjawab pertanyaan yang mengundang jawab itu.
“Aku nggak tahu kalau dia ditangkap? Lalu apa istimewanya dari seorang Mel Gibson? Setahuku dia yang menyutradarai film “The Passion of Christ”, melalui film itu ia mengisahkan kehidupan Yesus 18 jam sebelum disalib, Gibson dengan tegas hendak mengatakan bahwa kaum Yahudilah yang sesungguhnya berada di balik penyaliban dan kesengsaraan Yesus. Film ini mendapat kecaman dan juga pujian di seluruh dunia. Selebihnya aku nggak tahu???”
Tak cukup sampai disini, perdebatan pun terus berlanjut.
“Ya, menariknya saat ditangkap polisi, Mel Gibson dengan berang berkata, “Semua orang Yahudi harus bertanggungjawab terhadap seluruh peperangan yang terjadi di muka bumi!
Hal ini membuat sang polisi terkejut. Ucapan Mel Gibson yang di AS merupakan tabu yang luar biasa dan akan memiliki implikasi yang sangat luas.”
Tak pernah terbersit dalam benak Zahra, kenapa ‘orang’ ini begitu antusias untuk selalu mengikuti perkembangan berita seputar AS dan para antek-anteknya dalam melawan islam. Dan, kenapa Zahra yang terpilih untuk perdebatan ini?
“Rabb, aku lelah dengan orang yang nggak jelas seperti dia. Mungkin memang sebaiknya aku sudahi sampai disini saja!”, selintas mencuat dalam benak Zahra.
“Ehmm, pasti dia akan menuai kesulitan. Aku yakin sekali, kelompok Zionos Amerika tidak akan tinggal diam dengan perbuatan yang Gibson lakukan! Aku rasa cukup sampai disini. Aku masih ada pekerjaan! Terimakasih !”
Itulah pesan dan keputusan terakhir yang diambil Zahra.
~ ~ ~ ~ ~
Tiada lagi dering Bring Me to Life-nya Evanescence dari ponsellnya. Dia, yang sebelum ini selalu Zahra harapkan kehadirannya, membawa pesan-pesan hangat dan menggugah minat.
Entah apa yang Zahra rasakan kini. Kemana ia akan mencari teman sebaik dia-entah seorang ikhwan atau akhwat.
Hanya rebahan ditempat tidur sambil mendengarkan suara Keith Martin yang melantunkan Because of You dari music player. Masih terngiang dibenaknya. Enam bulan lalu, suasana seperti ini yang membuat ia teringat kembali akan pesan pertama yang datang padanya. Namun kini, entah dimana gerangan.
Kembali ia melihat ponsellnya, bimbang akan keputusan yang baru saja terlintas dalam benaknya.
“Aku tak kuasa Rabb… baru ku sadari, aku sangat merindukan kehadirannya. Tak Kau berikan petunjuk-Mu. Apakah dia sama halnya dengan aku? Apakah dia juga seorang muslimah, seperti halnya dengan aku? Berjilbab dan berkerudung? Indahnya jikalau ku dapati seorang saudara seiman yang secerdas dia!”
“Apakah sebaiknya, aku berkirim pesan ke dia. Sekedar untuk bertegur sapa menjalin silaturahmi, sekedar menanyakan kabar. Tapi, kalau dia ihwan bagaimana?”
Berbagai tanya, berkecamuk dalam diri Zahra.
“Ah, kenapa tidak aku coba dulu? Mungkin saja dia Ahwat?”
Dengan mengucap basmalah, Zahra menuliskan e-mail ke dia.
Subject : Assalamualaikum Uhtie!
Bagaimanakah kabar Uhtie sekarang? Lama tidak berkirim kabar. Apakah Uhtie dalam keadaan baik? Sebelumnya aku minta maaf, entah dengan apa aku harus memanggil Anda. Karena selama ini aku terlalu takut untuk bertanya. Aku selalu berharap bahwa kamu seorang Ahwat.
Hormatku,
As Zahra
Pesan pun telah terkirim. Dan tidak ada jawaban sekalipun dari dia. Kian hari hati Zahra semakin dirundung gelisah. Apakah saudaranya yang seiman berada dalam kondisi yang baik.
“Rabb, aku selalu dirundung gelisah. Haruskah ku beranikan diri untuk mencari tahu tentang dia?”
Dua hari berlalu. Tiada pesan pun yang mangkal di ID e-mail maupun ponsellnya.
Sebuah keputusan besar telah diambil oleh seorang Zahra.
Tuuut… tuuuttt… tuuttt…
Lama ia menunggu sambungan telfon dari seberang. Menanti jawab dan sambutan salam hangat yang ia harapkan adalah suara seorang Akhwat, saudara seiman.
Tetap tidak ada jawaban.
“Kalau sekali lagi aku coba masih juga tidak ada jawab, aku akan berhenti sampai disini. Mungkin memang Allah mengirimkan dia, hanya untuk singgah sementara dalam hidupku.”
Sekali lagi Zahra mencoba.
Seketika kegelisahan meruak dalam dadanya.
Nada dering yang seperti suara kereta berderum, ritme yang sejalan dengan degup jantungnya yang gelisah. Tiba-tiba terhenti sebagai tanda jawaban dari seberang.
Sunyi… sepi… tiada suara…
Dan…, terucaplah sebuah salam yang hangat dari seberang.
Belum sempat Zahra membalas salam itu, namun hati dan bibirnya telah keluh terlebih dahulu. Semburat penyesalam dan kebencian menggurat dalam wajah ayunya. Badannya lemas tak bertenaga. Bahkan tak kuasa tuk memutus sambungan telfon.
“Di… dia… seorang ik.. ikhwan…???”, pekik Zahra dalam hatinya yang kecewa.
“Ohh Rabb.. ampuni aku. Jadi selama ini aku… aku menyesal Rabb…!”
Suatu penyesalan yang seolah tiada akhir. Ribuan maaf mungkin takkan bisa mengobati luka dihati karena kecewa. Selama ini dia selalu berusaha menjaga kehormatan dan menghindari fitnah, namun kini tengah terjebak dalam dilema yang menyesakkan. Tidak seharusnya ia berlama-lama dan mengharapkan kehadiran seseorang yang ternyata bukan mahramnya. Dia terjerat dalam sebuah penyesalan. Kenapa bisa seceroboh ini? Kalau dia memang seorang Akhwat, pastilah tidak akan menyembunyikan identitas sebenarnya.
Segera ia bersujud kehadirat Illahi atas kehilafannya. Surah At’taubah ia baca sebagai pelengkap permohonan ampun kepada Sang khalik.
Kamu (umat islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah… (QS 3:110).
~ ~ ~ ~ ~
Tiada lagi ia mengharapkan pesan-pesan yang ia anggap penuh kemudharatan, karena tidak dilandasi kejujuran dari sang pengirim. Tiada lagi ia membuka e-mail dan berharap secuil pesan dari dia yang telah melukai hati seorang yang mengharapkan saudara seiman dengan membawa keridhoan Sang Khalik.
Sampai suatu hari sepulang dari kampus. Berjalan menuju tempat kostnya, yang tak seperti biasa, begitu penuh disesaki kerumunan orang dalam langkah kaki mereka yang menyiratkan kesedihan dan duka yang dalam. Tak ada suara dari bibir-bibir yang terkatup dan mata yang sembab karena linangan air mata. Puluhan mahasiswa dengan jaket almamaternya, berkumpul dan tertunduk lesuh di sebuah serambi rumah. Beberapa dari mereka dikenal Zahra sebagai teman satu angkatan dari fakultas kedokteran gigi.
Disisi lain tempat mereka terduduk, berkumpul beberapa Akhwat lengkap dengan gamis dan kerudung yang menutup sepanjang dada mereka, yang Zahra kenali mereka sebagai muslimah dari sebuah perkumpulan aktifis dakwah kampus, yang beberapa hari gencar menyoalkan perlawanan terhadap para Zionos barat dan para misionaris yang melawan islam dengan terang-terangan.
“Ada apa ini? Kenapa mereka semua nampak tertuduk lesuh?”, tanya Zahra pada salah seorang teman kostnya yang juag kebetulan berada di sana.
Dan tanpa terucap sepatah katapun, dia menunjukkan pada sebuah bendera berwarna kuning di depan gang menjuju tempat kostnya, sebagai tanda duka cita yang mendalam atas apa yang mereka rasakan.
Dengan tanggap, Zahra langsung bisa memahami petunjuk yang diberikan temanya itu.
Namun tak habis pikir, siapa yang meninggal?
“Aku yakin sekali, dia yang telah pulang ke rahmatullah, adalah benar-benar hamba yang sangat diharapka kehadiranya disetiap kesempatan. Berbagai macam orang dari berbagai kalangan datang dan iktu serta dalam mengiring kepergiannya. Suatu persembahan terakhir yang bisa mereka lakukan, untuk seorang yang benar-benar mereka harapkan semasa hidupnya!”, bisik Zahra dalam hati.
“Bagaimana ia meningal?”, tanya Zahra pada temannya.
“Dia meninggal dalam dalam sholatnya, saat melaksanakan sholat Dhuha. Dari kabar yang aku dengar, dia tidak dapat lagi melanjutkan studinya sebagai seorang dokter gigi, karena kanker otak yang ia derita. Sejak setahun terakhir, ia aktif dalam kegiatan dakwah, sebagai seorang trainer.”
“Kamu pasti tahu orangnya. Yang setiap pagi selalu duduk di kursi roda, dekat jendela kamarnya. Sejak sebual terakhir, penyakitnya sudah tidak dapat di control, dia tidak mau melakukan kemoterapi. Dia habiskan sisa hidupnya hanya dengan duduk di depan computer, dan berdakwah malalui internet. Namanya Mas Isman!”
~ ~ ~ ~ ~
Masih ada sisa-sisa kehampaan sekaligus kekaguman pada prosesi pemakaman tadi. Zahra teringat akan kematian, yang masih menjadi rahasia bagi setiap insan. Dan kehadirannya tidak dapat kita tunda maupun kita tolak. Hanya, bagaimana kita benar-benar memanfaatkan sisa hidup kita untuk hal yang bermanfaat, sebelum ajal menjemput.
Ia membuka kembali laptopnya, untuk mencari pesan dari sahabat lama di tanah rantau. Dan tanpa sengaja Zahra membuka pesan yang datangnya dari ‘dia’ yang telah masuk dalam ‘Black List’nya Zahra selama beberapa bulan terakhir.
Subject : Assalamualaikum Ukhtie!
Mungkin, saat kau baca pesan ini. Aku sudah tidak berada dalam dunia yang fana’ ini.
Mungkin aku jasadku sudah dikerubuti cacing-cacing dan serangga-serangga lainnya, di liang sana! Naïf banget ya?
Ukhtie, aku yakin kamu pasti sudah pernah membaca novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Bukankah itu merupakan bacaan yang sempat membuat kau terpukau. Aku mengutip dari sebuah artikel.
Jika dicermati, Ayat-ayat Cinta adalah novel cinta yang romantis namun sekaligus sangat Islami. Dalam sebuah diskusi novel tersebut di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), salah seorang pembicaranya, yakni Ahmadun Yosi Herfanda, menilai novel Ayat-ayat Cinta sebagai salah satu 'karya puncak' (kanon) dari fenomena fiksi Islami yang belakangan menjadi mainstream yang sangat kuat dalam khasanah sastra Indonesia mutakhir -- sebuah mainstream yang mampu mengimbangi fenomena sastra sekular (seksual) yang banyak dilahirkan oleh para perempuan penulis semacam Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu, Fira Basuki dan Dinar Rahayu.
Mengutip pendapat Ahmadun, karya-karya para penulis fiksi Islami, seperti Asma Nadia, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan Fahri Aziza -- baik cerpen maupun novel -- sebenarnya adalah fiksi-fiksi romantis; namun dikemas secara Islami dengan penggarapan tema dan konflik-konfliknya secara Islami pula.
Demikian pula Ayat-ayat Cinta. Namun, kemahiran Habib dalam menuturkan kisah cinta di dalamnya menjadikan novel tersebut sangat memikat dari awal sampai akhir. Sementara, latar cerita (setting) di dunia Islam, terutama kehidupan mahasiswa dan masyarakat Islam Mesir, menjadikan novel itu sangat hidup sekaligus kaya citraan budaya Islam.
Kali ini aku mengambil tema Ayat-ayat cinta, dan berharap masih ada sedikit celah maaf dan keridhoan dari hati sucimu.
Ukhtie, aku tidak bermaksud demikian. Aku tidak ada maksud menyakiti hati dan perasaanmu, terutama kepercayaan tulus dan besarnya kepercayaan darimu. Aku sangat menghargai Ukhti, sebagai wanita muslimah yang sholehah.
Entah mungkin hanya sebuah mimpi buatku. Bisa mengagumimu dan walaupun hanya sekilas saja memandangmu setiap pagi dari jendela kamarku, sudah membuatku bersyukur.
Aku bukanlah siapapun dan aku bukanlah apapun. Aku hanya seorang hamba yang lemah dan penuh dosa. Telah ku nodai perasan tulus dan sucimu, yang mengharapkan sanjungan silaturrahmi akan saudara seiman.
Dari awal perkenalan, aku sengaja tidak membuka identitasku, karena aku takut kau tidak akan menerima kehadiranku sebagai seorang Ikhwan.
Jilbab dan gamismu yang setiap saat tak pernah tanggal, semakin membuat aku mengagumimu. Maafkan aku, jikalau sudah mencuri pandang padamu tiap pagi. Tiap kau melintas di depan rumahku.
Dari ujung jendela ini, aku selalu memperhatikan tiap gerak langkahmu, yang penuh dengan semangat juang dan hidup.
Betapa mulia dan berhati-hatinya kau dalam menjaga diri dan fitrah dari fitnah setan. Dan aku memutuskan untuk mundur, ketika kau mengira bahwa aku adalah seorang Akhwat.
Aku tidak ingin berbohong, maka aku memutuskan pergi.
Ukhtie, melalui kedua tangan dan jari-jarimu, perjuangkanlah kemerdekaan saudara-saudara kita sesama muslim. Ciptakan generasi muda yang sarat dan haus akan bacaan dan informasi. Generasi muslim yang syar’i dan penuh cinta Illahi, dengan 'jihad bil qolam' (berjihad dengan pena).
Aku pikir kehadiranku tidak sepatutnya mengusik ketenanganmu. Aku memutuskan untuk menyudahi semua ini, namun aku sangat bersyukur kau masih mempertanyakan keadaanku.
Mungkin tak layak jika ku minta maafmu. Dan disisa masa hidupku, sebelum aku pulang ke rahmatullah, aku mohon keikhlasan dan keridhoanmu, Uktie!
Maafkan aku ukhtie! Mungkin aku akan sangat menyesal sekali…
Hormatku,
Isman.
“Isman??? Bukankah dia yang…”, tanpa ia sadari, linangan iar mata membasahi jilbab putihnya.
“Dia yang setiap pagi selalu menegurkan salam padaku. Dia yang setiap pagi selalu menebarkan senyum ke arah setiap orang yang memandang. Dia yang setiap pagi selalu terduduk di kursi roda di bawah jendela kamarnya.”
“Dua pula orang yang selama ini aku benci karena persinggahan pesan-pesan tanpa permisi itu, sekaligus sebagai orang yang sangat aku kagumi karena kegigihannya dalam menjalankan hidup. Dan dia juga yang….”
“Tadi pagi telah berpulang ke rahmatullah, karena kanker otang yang ia derita. Oh… Illahi Rabbi… ampuni hambamu ini.”
“Ayat-ayat Cinta? Ah.. naïf sekali dia!”, semyum kebanggan terbersit diantara bibir manisnya.
“Rabb, apa hakku menghakimi dia? Dan apa hakku tak memberikan maaf padanya? Bukankah aku hanya hamba yang berkelimang dosa?”
“Berikan aku keikhlasan hati untuk sebuah maaf yang tulus untuknya Rabb…! Hanya kepada-Mu, kami akan kembali!”
~ ~ ~ ~ ~

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb

    afwan, ni cerita fiksi atau kisah nyata ya ????
    hmmmm,,, cukup membuat berlinang air mata bacanya saat terakhir.

    oia .....sebelum terjadi seperti di cerpen di atas, ana mau tanya, ni akhwat atau ikhwan ???
    dan ana izin untuk menyebarkan cerpen ini.
    Wassalamualaikum.......

    BalasHapus