Kamis, 20 Mei 2010

Kerinduan Jully

20 Mei 2007
“ JIKA KAMU BERBUAT BAIK
BERARTI KAMU BERBUAT BAIK KEPADA DIRIMU SENDIRI,
DAN JIKA KAMU BERBUAT JAHAT
MAKA KEJAHATAN ITU BAGI DIRIMU SENDIRI “
(AL-ISRA’ : 7)

Malam ini benar-benar berbeda buatku. Bukan tanpa sebab, kalau tiba-tiba aku duduk termenung sambil menikmati hamparan cahaya bintang, yang beriringan dengan malam purnama. Hal yang aku sadari tidak pernah terjadi selama empat tahun terakhir. Sudah tidak ada lagi air mata yang keluar dari kedua pangkal mataku. Bukan karena telah mengering, namun memang sudah tidak layak lagi aku meneteskannya hanya untuk hilangnya sebuah bintang. Yang memang bukan menjadi milikku. Sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan ini.
Aku jemu.
Mata ini masih enggan terpejam.
Setiba dari Bandung, tanpa ku harapkan bertemu dengan Jo -masa laluku yang muncul kembali- di sebuah bengkel tempat ia bekerja selama ini. Aku tidak mengira kalau dia akan menghabiskan masa mudanya di sini. “Kota Lumpur” tempat aku dibesarkan, kota tempat aku pertama kali belajar merasakan indahnya cinta pertama sekaligus patah hati pertamaku.
Konyol memang, untuk ukuran remaja SMA yang baru beranjak dewasa dan baru akan belajar mengenal kehidupan yang sesungguhnya.
“Jully San? Kamu Jully kan?”, Dia memandangku dengan menyelidik, berusaha mencari pembenaran akan apa yang ia lihat.
“Eh.., oh.., Miki…??”
Aku terkejut melihat dia lagi. Masih tetap dengan wajah innocent-nya. Wajahnya yang bulat dengan pipinya yang kini agak lebih gembul, tetap terlihat menyenangkan. Mengenakan pakaian kerja yang penuh dengan oli. Namun tetap tersenyum dengan aktivitasnya.
“Ternyata Miki masih ingat sama Jully ya?!”, Aku mundur selangkah untuk menjaga jarak kami yang terlampau dekat.
Kami diam beberapa saat. Aku merasakan kesunyian yang sangat, diantara kebisingan gemuruh pencuci mobil, suara las, serta celoteh para pekerja bengkel yang saling melontarkan gurauan.
Kenapa harus sekarang Rabb. Aku tidak siap akan apa yang selanjutnya.
Dia hanya menatapku lekat, tanpa berucap sepatah katapun.
“Wah…, kamu banyak berubah ya sekarang? Sudah… sudah…!”
Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang seketika berubah menjadi perasaan bersalah. Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang terputus.
Aku hanya melemparkan senyum ramah padanya.
“Kamu… sudah berjilbab sekarang!”, lanjut Miki dengan tenang.
“Alhamdulilah…, Allah memberikan jalan-Nya untukku!”
“Oh ya, aku hampir lupa!”, Nada bicaranya sontak menunjukkan keterkejutan.
“Ada apa?”, tanyaku memburu.
“Beberapa waktu yang lalu saat aku pulang ke Surabaya, aku bertemu dengan Syafrie, Bintang pujaan hatimu itu. Dia nanyain kamu lho. Dia bilang, kamu sekarang sudah nggak pernah hubungi dia lagi ya? Terus dia juga titip pesan, kalau aku bertemu atau tahu keberadaanmu, dia berharap agar kamu mau menghubungi dia lagi. Walaupun itu hanya sekedar telfon dan tanya kabar. Kalau kamu tahu…?”
Aku tidak dapat berfikir dan merasakan lagi, semuanya hampa dalam pandanganku. Mendengar nama itu disebut, rasanya semua kerja kerasku selama ini untuk menghapus dia dari hidupku, sia-sia.
“Aahh, ya, begitu ya rupanya?”
“Gimana dia sekarang? Kelihatannya sudah bahagia ya?”, aku hanya bisa tersenyum padanya.
“Ah… itu.. karena Yoe..-“, Untuk kesekian kali dia tidak melanjutkan ucapannya.
“Iya semenjak aku kuliah di Bandung, aku tidak pernah menghubungi dia. Karena aku pikir itu tidak perlu!”
Rabb, aku mengatakan tidak perlu. Padahal dalam dada ini, aku merasakan adanya penyesalan. Rabb berilah aku kekuatan.
“Lho kenapa tidak perlu? Padahal dulu, kalian sangat dekat. Ya walaupun hanya sebatas teman telfon, bahkan aku sempat iri liat kedekatan kalian. Sudah seperti…, pacaran! Padahal, kalian hanya sebatas sahabat?? He…he…he…!”
“Eh, Jully…”, Lanjut dia.
“Ya..?”
“Asal kamu tahu. Selama empat tahun terakhir semenjak kepergian kamu yang tanpa jejak itu, dia tidak ada putus asanya mencari tahu tentang keberadaan kamu. Bahkan dia masih berharap suatu saat nanti kamu akan telfon dia lagi, seperti… dulu!”
Apa yang dikatakan Miki benar adanya. Aku pergi meninggalkan semuanya.
“Iya, tapi itukan dulu. Dan sekarang sepertinya, hal itu tidak akan terjadi lagi!”, Aku hanya menjawab dengan datar pertanyaan Miki, dan aku pikir hal itu tidak perlu dipertanyakan pada keadaanku yang saat ini.
Begitulah kami berpisah, mungkin jawabanku telah mengecewakan Miki-entahlah aku tidak tahu pasti apa yang ada dalam benak orang lain, termasuk dia. Tapi aku tahu, inilah yang terbaik. Dan aku juga tahu, bahwa ini ujian yang diberikan Rabb kepadaku.
Bagiku, keakraban dengan Bintang -begitulah aku mengibaratkan Syafrie, sebagai sosok yang pernah singgah di hati ini- merupakan pelajaran tersendiri di akhir masa SMA.
Masih terngiang dalam khayalku, kata-kata terakhir yang diucapkan Miki sebelum kami berpisah.
Bintang…
Entah apa yang membuat aku masih menyisakan ruang, biarpun itu adalah suatu yang sangat sempit di dada ini. Namun sejujurnya, aku masih berharap. Selama dua tahun kami berteman dan bersahabat, bahkan tak jarang teman-teman mengira kami pacaran, karena kedekatan kami. Tak cukup di situ, bahkan mama juga beranggapan Syafrie adalah pacarku.
Tapi sejujurnya, aku tidak pernah mengenal apa itu pacaran. Entah apa masih ada yang percaya dengan pengakuanku ini. Aku tidak ingin menodai kesucian dan kepercayaan yang telah Rabb berikan padaku. Tak pelak juga, banyak yang mengatakan aku adalah cewek yang sok suci, sok alim, dan sebagainya. Ah, sarkasme sekali tuduhan itu. Tahu apa mereka tentang aku.
Namun disisi lain ruang hidupku, fitrahku sebagai perempuan, aku juga membutuhkan kehadiran seorang pria yang bisa menjadi sandaran hati ini. Tempat labuhan jiwa yang lelah ini. Namun entah kapan dan siapa dia? Tak jarang mereka menertawakan khayalku, yang mengharap akan datangnya seorang pangeran dalam hidupku-The True Love-, dengan membawa keridhoan-Nya, untuk menjadikan aku sebagai pendampingnya. Khayalan gadis remaja yang baru menginjak usia dewasa. Khayalan seorang pelajar SMA yang belum tahu tentang makna kehidupan yang sesungguhnya. Hanya berbekal keyakinan, harapan, dan angan.
Mungkin inilah jalan yang harus aku tempuh. Hadapi berbagai tikungan dan tanjakan, serta hamparan jalan yang licin, dan terkadang keras berbatu, untuk menggapai Ridho-Nya. Aku tidak pernah tahu apakah ini namanya cinta, namun uniknya aku juga sama sekali tidak berkeinginan untuk menjalin hubungan kasih dengan dia-seperti yang dilakukan teman-teman sebayaku. Hanya khayalan, tentang pangeran dan masa depan.
Mungkin itulah saatnya Rabb mengirimkan uji-Nya padaku. Dia akan mengirimkan orang yang salah, sebelum aku bertemu dengan orang yang tepat. Untuk belajar dan mengerti kenapa aku berada di sini, saat ini, kemarin, dan esok.
“Asal kamu tahu, selama empat tahun terakhir, semenjak kepergian kamu yang tanpa jejak itu, dia tidak ada putus asanya mencari tahu tentang keberadaan kamu. Bahkan dia masih berharap suatu saat nanti kamu akan telfon dia lagi, seperti…, dulu!”
Mengingat kata-kata itu, seolah diri ini masih terbelenggu dalam kenangan masa lalu. Empat tahun yang lalu, aku pergi begitu saja dari dia. Menghapus semua jejak masa laluku yang terkesan begitu polos namun memuakkan. Saat dia singgah dalam hidupku, aku hanya bisa berharap dan berkhayal.
Rabb.., jika dia orang yang tepat untukku, maka persiapkan dan jagalah dia untukku. Namun, jika dia bukan orang yang tepat untukku, jauhkanlah dia dari diriku dan hidupku, dan lindungilah aku dari apa yang menimbulkan murka-Mu.
“Uuuhhhff.. sudah hampir pagi ya?”, Aku bergumam lirih, berusaha kembalikan pikiranku, dan tidak mau lagi berada dalam khayal panjangku.
Ini duniaku, aku harus berfikir realistis dalam hadapi hidup.
Dorongan rasa ini begitu kuat. Gejolak ini sangat sulit aku kendalikan.
Apa aku harus hubungi dia lagi? Dan menghancurkan benteng pertahanan yang telah aku bangun selama ini? Aku…!
Ah, tidak… kenapa aku harus lakukan itu? Memangnya dia siapa? Karena kehadiran dia aku sering merasakan sakit dan kecewa. Tapi.. karena dia pula, akhirnya aku sadar bahwa selama ini aku hanya menjadi korban atas perasaanku sendiri.
Tidak, aku tidak boleh menyalahkan orang lain. Inilah jalan yang aku pilih dan harus aku tempuh.
Ku hapuskan bimbang di pikiranku, ku bersihkan tabir penutup hatiku, ku hapuskan debu, dan singkap tabir di jiwaku dengan air wudhu. Kuyakinkan hati ini, ku teguhkan jiwa ini, dalam gema takbir, kusyuknya rukuk, dan dengan sempurnakan sujudku.
Seusai shalat lail, ku tatap meja belajarku.
seluruh file di komputerku, kumpulan data, dan catatan dalam sekian tumpuk bukuku, yang kesemuanya berisikan torehan nama dan cerita tentang dia, yang telah tersimpan rapi jauh di dasar ruang waktu yang gelap dan tanpa batas, kini seolah mencuat kembali. Harapan yang sempat pupus dan terkubur, kini tumbuh kembali.
Rabb, dia Kau datangkan kembali dalam hidupku. Jika ini takdir-Mu, aku tak kuasa menolaknya. Jika ini uji-Mu, tunjukilah aku jalan lurus-Mu. Rabb, aku merasakan kebesaran-Mu disini. Ribuan bahkan jutaan taburan bintang di langit, seolah teguhkan keyakinanku. Jika hanya satu Bintangku yang hilang, aku yakin Kau akan beriku Bintang yang lain, yang sinarnya lebih terang dan terbaik untukku.
~ ~ ~ ~ ~
Kepalaku terasa pening, pandanganku mulai kabur, dan perutku terasa mual. Zat asam dalam lambung mengaduk-aduk perutku yang kosong. Mungkin aku kelelahan. Sudah hampir lebih dari satu jam aku membongkar dan memilah-milah seluruh rak buku dan lemari pakaianku di kamar, yang sudah hampir empat tahun aku tinggalkan. Emosiku mulai menunjukkan rasa muaknya, dan kadar asam lambungku terasa semakin meningkat.
“Ahhh… usahaku selama lebih dari satu jam tidak membuahkan hasil sama sekali. Payah…”
Bahkan tanpa aku sadari, mama sudah berdiri mematung di ambang pintu kamarku yang lupa belumku tutup. Memperhatikan gelagatku yang dipandang aneh oleh beliau.
“Kamu sedang cari apa sih Mbak? Kok mama liat dari tadi kamu kayak orang bingung gitu? Ampe lupa makan pula!”
“Ah… gak tahu ma…? Aku capek sekarang! Dicariin dari tadi nggak ketemu juga? Seingatku, aku simpan di rak buku! Mama tahu nggak?”, Sambil melepas lelah ku hempaskan diri di tempat tidur yang ternyata masih nyaman, dan… senyaman dulu.
“Selama kamu di Bandung, tidak ada orang yang otak-atik kamar kamu kok! Cuma kadang-kadang mama masuk buat bersihin. Kalau kangen kamu, mama liat foto-foto kamu di rak buku!”
“Iya… tapi kok nggak ada sih Ma?”
“Coba cari lagi? Mungkin Mbak lupa taruhnya?”, Mama berusaha membantu ikut mencari.
Padahal aku yakin banget, kalau di tanya, mama pasti tidak tahu apa yang sedang beliau cari. Semuanya nampak begitu konyol.
“Ada apa sih ribut-ribut? Kamu itu Dek.., pulang-pulang bisa cuma repotin mama terus! Mama juga tuh, lagi cari apa sih?”, Celoteh Mas Iwa, kakakku.
“Iya ya Mbak, emank kita mau cari apa sih?”, Sambil memandang bingung ke arahku.
Seketika suasana menjadi hening, dan dalam sekejap hitungan detik keheningan pecah oleh gelak tawaku dan mas Iwa. Kami tertawa mendengar pernyataan mama yang menunjukkan kepolosan seorang ibu tatkala panik.
“Udah deh,,, ketawanya cukup! Orang tua kok ya diketawain gitu? Kalian ini di sekolah masing-masing diajarin untuk nggak sopan ya sama orang tua? Dosa lho ya?”, Ungkap mama sambil kesal.
“Maafin kami Ma…!”, Timpal Kak Iwa.
“Oh ya, Mas tahu ponsel lamaku yang aku taruh di rak buku nggak?”
“Oh.. itu toh? He…he…he.., maaf! Kemaren aku pinjam buat telfon klien! Itu sekarang ada di kamarku!”
“Syukurlah….!”, Menghela napas panjang.
Tak membutuhkan waktu lama untukku mencari nama Syafrie dari daftar contacts di ponsel lamaku, yang banyak terdapat berbagai macam pesan singkat dari dia yang masih aku simpan hingga saat ini. Nomer handphonenya sudah aku atur dalam speed dial list di urutan ke empat, sesuai dengan tanggal ulang tahunnya.
Kalau dipikir, semuanya nampak begitu konyol. Ternyata dulu aku sangat mengagumi dia, mengagumi orang yang belum pernah aku temui. Bahkan untuk apa aku masih menyimpan semua pesan singkat yang dia kirim buat aku? Dan parahnya lagi, sampai nomernya aku save dalam speed dial list. Ya, waktulah yang telah merubah aku. Membawa aku menuju kedewasaan. Seperti saat ini, saat aku sedang menertawakan kekonyolan masa laluku.
Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kembali ke masa-masa saat masih duduk di bangku SMA. Seperti saat pertama dia mulai singgah di hidupku. Seolah ini semua terjadi baru beberapa waktu yang lalu.
Seketika dalam dadaku tumbuh kegelisahan. Debar-debar di dada ini, rasa takut bercampur senang, meruak menjadi satu. Harapan yang mustahil seolah kembali memberi celah.
Saat ini aku hanya bisa menggenggam ponsel di tangan kananku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku berusaha menenangkan kegelisahan ini, aku tarik napas panjang, dan berkali –kali megucap istighfar. Perlahan mulai tenang. Dan aku pun mulai menekan angka empat pada keypad ponselku.
Perlahan debar-debar itupun meruak kembali, ketika menunggu panggilan tersambung.
Di seberang terdengar ringan suara seseorang yang sudah sangat aku kenal intonasi dan tutur katanya.
“Assalamualaikum…?”
Subhanallah, suara itu! Dan cara dia mengucap salam? Tidak.., aku tidak boleh lakukan ini. Aku harus memutus telfonnya.
“Hallo TJ…! Kok kamu diem?”
Rabb…! Ternyata dia tahu kalau ini aku yang telfon, dan dia memanggil aku TJ. Nama yang dia berikan untukku sebagai singakatan dari nama panjangku “T’ Jully ana”. Apakah dia masih menyimpan nomerku? Tidak…, tidak mungkin! Setelah empat tahun? Tidak mungkin!
“Ahh.. ya, waalaikum salam! Ehm.. Syafrie ya? Ahh… aaa… aku hanya terkejut saja, ternyata kamu masih menyimpan nomerku?”
“Ahh.. dasar kamu! Aku, Sang Bintang pangeran kecilmu, tidak akan pernah melupakan kamu sampai kapanpun! Kamu itu yang sombong, nggak pernah telfon Syafrie!”
Aku masih tetap dalam diamku. Aku terlalu dikejutkan dengan ini semua. Dia tidak banyak berubah, masih tetap seperti yang dulu. Selalu bisa mencairkan ketegangan.
“TJ nggak pernah berubah ya! Kalau sedang telfon Syafrie, selalu banyak diamnya!”
Kata-katanya memecahkan lamunku.
Dalam sekejap waktu, kami sudah larut dalam obrolan-obrolan yang kocak dan konyol. Itulah salah satu kelebihan dia di mataku, yang membuat aku berharap sampai sekarang. Selalu bisa mencairkan suasana.
“TJ tahu nggak? Sampai sekarang… aku masih kecewa sama kamu! Kamu dulu pernah menolak cintaku, dan meninggalkan aku begitu saja tanpa memberikan jawaban yang pasti! Dan kenapa setiap kali aku ajak ketemu, kamu selalu menolak dan menghindar? Apa aku terlalu buruk di matamu? Sehingga kamu tidak mau malihat aku? Atau hanya untuk sekedar menatap mataku, untuk menunjukkan bahwa aku tidak main-main.”
Seketika jiwa ini kembali terguncang! Aku tidak berpikir sebelumnya kalau dia akan berkata demikian. Rabb, apakah dia tahu keadaanku sekarang? Aku bukan Jully ‘yang dulu lagi’! Aku tidak mau terjatuh dalam kubangan yang sama. Aku tidak mau terpuruk lagi.
Tapi, aku kembali untuk meraih keridhoan-Mu Rabb. Bukan untuk mengulang semua kesalahanku di masa lalu yang mengikis aqidah dan melemahkan iman. Apakah kau bisa mendengar hatiku yang tengah kacau ini? Apakah kau bisa memahami kondisiku yang terjepit ini? Dan apakah kau tahu untuk apa aku lakukan semua ini?
Aku dulu memang menolak cintamu. Aku memang meninggalkanmu. Karena bukan itu yang aku harap dari dirimu. Aku tidak mengharapkan untuk menjadi kekasihmu. Dan aku tidak mengharapkan belas kasih serta cinta manis yang sering kau tawarkan dan janjikan kepadaku, dan mungkin yang banyak didamba-dambakan oleh para gadis pada masa itu, dan mungkin juga sekarang. Bukan, bukan itu. Aku dulu pergi untuk saat ini. Tapi kamu masih belum juga membuka hatimu untuk tujuan yang sesungguhnya. Mungkin kau memang bukan orang yang tepat.
Dia mengatakan bahwa dia kecewa padaku? Ah.. omong kosong! Apakah dia pernah berpikir bagaimana rasa sakit dan kecewa yang aku rasakan selama ini? Apa dia merasakan beratnya perjuanganku untuk mengakhiri sesuatu yang sangat aku sukai? Aku tahu ini hanya siasatmu untuk menjebak aku dalam masalah yang sama untuk yang kedua kalinya. Ya dan hal itu pulalah yang dahulu membuat aku terpuruk dalam bujuk manismu. Mungkin saat itu, aku terlalu polos untuk menyadari akan apa yang sedang aku rasakan. Hati dan pikiranku tertutup oleh tabir kepalsuan manisnya cinta semu yang kau tawarkan.
Hanya dalam hati. Hanya dalam hati aku teriakkan semua itu.
“Oh ya, minggu depan kamu kan ulang tahun?”, Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Iya, tapi mungkin aku nggak bisa ngerayainnnya seperti tahun-tahun kemaren! Sebentar lagi aku tidak akan sebebas dulu. Oh ya, bulan depan aku mau…, ah sudahlah, aku pikir kamu tidak mau tahu! Kamu sendiri, bagaimana kuliahmu?”
Aku tidak pernah menganggap serius semua perkatannya, ya tentunya setelah aku tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku mempercayai semua perkataan manisnya. Tapi aku tidak pernah berfikir bahwa tidak akan ada lagi Bintang dalam hati ini. Dan aku juga tidak pernah berfikir, apakah nanti aku masih bisa mendengar suaranya lagi seperti saat ini.
~ ~ ~ ~ ~
Malam kian larut. Namun aku masih enggan meninggalkan balkon. Taburan bintang bak permadani yang terbentang di jagad raya Ilahi, mematri tatap mataku agar tidak beranjak untuk tetap memandangnya. Empat tahun aku menutup diri, enggan memandang karunia Ilahi yang indah ini, hanya karena enggan mengenang semua yang telah terjadi.
Namun kini, hanya kehampaan yang ku rasakan. Baru ku sadari, sore itu merupakan telfon terakhirku. Setelah itu, aku tidak dapat lagi mendengar suaranya, tidak dapat lagi mengucapkan selamat ulang tahun buat dia. Mungkin inilah jawaban yang Rabb barikan atas doa-doaku selama ini. Bahwa dia bukan untukku. Terlalu banyak kekecewaan yang aku rasakan. Sebesar itu harapanku, dan sebesar itu pula rasa kecewa yang harus aku rasakan.
Sudah sebulan aku menunggu dan mencari kabar tentang dia, semenjak telfon terakhir itu. Aku telah membuang percuma waktuku selama sebulan ini, hanya untuk memikirkan orang yang belum tentu memikirkan aku. Jika dia pernah bilang menunggu aku selama empat tahun, dan dia bertahan selama waktu itu, sama sekali tidak ada kata yang membuat aku yakin dan untukku percaya akan apa yang ia utarakan. Tidak seharusnya aku memenuhi pikiranku dengan sesuatu yang tidak sepatutnya memenuhinya.
Angan panjangku di balkon telah dibuyarkan dengan suara dering sms dari ponselku.











MESSAGE
From : Miki
Malam Jully.. aQ ykn Qm blm tdur. Aplg d langt brtbur Bintng! Oh y, kpn mw balik k Bandug? Liburn Kul ud mlai brkhr kn?
20 / 5 / 2007 11 : 28 PM
Call Back Numb :
081514488141
Ya, aku hanya bisa menghela napas panjang. Tujuanku pulang ke Sidoarjo untuk menghabiskan waktu liburan kuliah, sebelum skripsiku selesai. Namun, disisi lain aku juga berharap masih dapat memenuhi janjiku buat bertemu Syafrie, kalau kuliahku benar-benar sudah selesai. Namun sepertinya, Rabb tidak menghendaki niatku ini. Dan mungkin memang aku dan dia tidak ditakdirkan untuk bertemu.
Aku me-replay sms yang baru saja aku dapat dari Miki.
Send To : Miki
Insya Allah migu dpn! Stlh memenuhi undagan dia. Stlh aQ akhiri smua ini! Knp? Miki juga hadir kan?
20 / 5 / 2007 11 : 33 PM
Empat tahun lalu aku berjanji pada diriku sendiri. Suatu saat nanti aku akan kembali dengan membawa harapan baru, untuk mewujudkan khayalanku mencari Bintangku. Mungkin inilah saatnya aku mengakhiri permainan lama untuk memulai kehidupan baru dengan permainan baru pula. Selama ini aku berusaha menikmati setiap rasa sakit dan kecewa karena perasaanku sendiri.
Aku berfikir, mungkin dengan pergi dan meninggalkan semuanya begitu saja, maka masalah selesai dan ‘I’ll be the winner’. Dan tidak akan ada lagi rasa sakit serta kecewa.
Aku salah.
Justru hal inilah yang membuat aku semakin merasakan sakit yang sangat. Aku harus mengakhiri semuanya dengan baik, sebaik saat aku memulai semua ini. Bermain dengan cantik.
Inilah saatnya aku mengakhiri permainan ini. Mungkin langkah awal, dengan memenuhi undangan itu. Tak habis pikir. Siapa gadis yang beruntung itu? ‘Beruntung’? tidak juga. Mungkin malah sebaliknya.
~ ~ ~ ~ ~
MESSAGE : Syafrie
Gimana kbr Qm, baek-2 aZakn? Knp Qm skrg ko’ jrg tlfn? Da lupa maQ ya? Tlfn aQ y! aQ kangen ma Qm dan suara manja Qm!
6 / 7 / 2003 03 : 50 PM
Call Back Numb :
08881580923

MESSAGE : Syafrie
Yaampun Cinta…? aQ tuh malah senang bgt Qm tlfn. Mankna aQ brubh gmn? Prasan tetep ZaQ sayang ma Qm.
6 / 7 / 2003 08 : 52 PM
Call Back Numb :
08881580923

MESSAGE : Syafrie
KloQ benar-2 sayang ma Qm gmn? aQ jg nggak maen-2 ma kata-2 Q.
6 / 7 / 2003 09 : 10 PM
Call Back Numb :
08881580923

Baru saja aku selesaikan membaca kembali pesan yang masih aku simpan di ponsel lamaku. -Dikirim oleh Syafrie empat tahun lalu. Tepat sehari sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Bandung-. Ketika seorang petugas hotel datang menghampiriku di meja makan siang, setelah launching buku yang baru aku selesaikan.
“Permisi.. Anda, nona Jully?”
“Oh ya, saya!”
“Maaf, ini ada pesan buat Anda!”, Sambil meletakkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat berukuran persegi di mejaku.
“Dari siapa?”, Sambil mengambil kartu yang tertera di bagian atasnya.
“Seorang pengunjung acara launching buku Anda. Dia menunggu di lobi hotel!”
“Oh, terimakasih!”
Aku segera menghapus tiga pesan yang baru saja aku baca di ponsel lamaku, yang sudah tersimpan disana selama empat tahun.
Hanya buang waktu dan pikiranku saja kalau aku masih menyimpan tiga pesan terakhir yang konyol itu.
Ku pikir itu hanyalah kartu ucapan terimakasih atau sepenggal kritikan atas buku yang telah aku tulis. Ternyata aku salah besar. Setelah aku membuka bungkus kertas warna coklat yang menyelimutinya, dan dari dalam menyembul sebuah buku yang…
Yang empat tahun lalu aku berikan kepada seorang teman sebagai hadiah perpisahan, yang berjudul “Kenapa sih harus pacaran?”. Ya sebuah judul yang mengandung makna ganda. Bisa diartikan bahwa kita harus pacaran, dan bisa juga diartikan kenapa kita harus menganut paham pacaran? Sungguh menggugah minat pembacanya. Dan ternyata isinya, memberikan kita pemahaman baru tentang pandangan islam terhadap pacaran. Memang tidak ada paham pacaran dalam islam.
Dan dalam kartu ucapan terdapat pesan.

Aku yakin kamu Jully San yang aku kenal tujuh tahun lalu.
Ternyata kamu benar-benar serius dengan kata-katamu
Dan sekarang kau sudah membuktikannya padaku dan pada semua orang.
Tidak terpikir Allah pertemukan kita disini
Aku tunggu di lobi ya?

Yolanda

Aku harus menata ulang hati ini. Seketika luapan kebahagiaan dan keterkejutan ini meruak melebur menjadi satu dalam semangat tiap langkahku menuju lobi hotel seperti yang tertera dalam pesan. Sama sekali tidak terbersit dalam benakku, akan bertemu dengan sahabat waktu masih sama-sama duduk di bangku SMA. Yolanda adalah teman idealku selama tiga tahun pada masa-masa SMA.
Apakah selama ini aku terlalu sibuk memikirkan Syafrie, sehingga aku melupakan segalanya tentang teman-teman dan keluarga yang telah empat tahun ku tinggalkan. Rabb, bagaimana dia sekarang. Parasnya yang molek seketika muncul dalam bayang meliputi langkah kakiku menuju lobi hotel.
Dari kejauhan aku dapat melihat keceriaan dalam tatap bola matanya yang hitam kecoklatan. Dia, nampak lebih gemukan dan cantik. Sepertinya dia bahagia dengan kehidupannya sekarang. Namun, dia agaknya sanksi melihat penampilanku yang mungkin agak aneh dalam pandangannya.
“Assalamu alaikum…!”, Sapaku sambil memeluk dia.
“Waalaikum salam…!”, Dia membalas pelukanku dengan lembut.
“Kamu tambah cantik Yoe..,! Agak gemukan neh? Wah kliatannya kamu bahagia sekali ya dengan kehidupanmu sekarang?”
“Ah kamu.., dari dulu nggak pernah berubah kalau soal nyindir aku! Kamu sendiri kaliatannya sudah mencapai standar yang dulu sangat kau damba-dambakan?”
“Maksud kamu… berjilbab? Iya donk…, kita kan harus menjadi muslimah yang kaffah! La kamu sendiri kapan mau nyusul?”
Begitulah obrolan kami berlangsung tanpa direncanakan sebelumnya. Seolah Rabb memang sudah mengatur semuanya untukku. Kepulanganku kali ini benar-benar membawa keberkahan dan kebahagiaan tersendiri dalam hidupku. Bernonstalgia dengan teman-teman lama.
“Oh ya Jully…, minggu depan… aku akan nikah!”
Aku tidak mengira semuanya akan berlalu secepat ini. Dia yang dulu suka gonta-ganti pacar, ternyata sekarang sudah menemukan pangerannya.
“Ah.. serius kamu? Siapa pangeran yang beruntung jatuh dalam rayuan gombalmu itu? Dasar cewek penakhluk!”
“Ihh.. kamu gitu ya? Gila-gila gini, kamu juga sayang kan sama aku? He…he…he… Datang aja minggu depan. Nanti kamu juga akan tahu siapa dia. Nanti aku kenalin dech..!”, Sambil mengambil undangan dari tasnya dan memberikannya padaku.
Sebuah undangan berwarna pastel dengan parfum aroma terapy.
Aku sempat tidak yakin dengan ini semua. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Undangan itu, bentuk, warna, dan aromanya sama persis dengan undangan yang diberikan Miki kepadaku tiga hari yang lalu. Sempat terbersit dalam benakku untuk tidak membuka dan membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Aku takut menghadapi suatu kebenaran, yang mungkin akan membuatku kecewa.
“Kok diam aja? Kamu nggak suka ya dengan undangannya? Atau kamu nggak suka aku nikah? Jully.. nggak mungkinkan kamu jatuh cinta padaku? He…he…”, Dia mulai menunjukkan kekonyolannya di hadapanku.
“Ihh… dasar kamu! Aku ini normal kale…!”
“Awalnya juga aku berfikir kalau warnanya terlalu…., ah tapi dia berusaha meyakinkan aku kalau itu warna yang bagus!”, Ucapan Yoe memecahkan keterkejutanku.
“Ahh.. tidak kok, bagus malah! Aku hanya masih nggak percaya kalau kamu benar akan married?”, Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku, di balik hijabku.
Aku berusaha untuk cepat mengakhiri semua ini. Aku telah berjanji pada Yolanda akan datang pada pesta pernikahannya minggu depan. Dan aku benar-benar mulai yakin kalau itu adalah undangan yang sama, yang diberikan oleh Miki padaku, walaupun tanpa aku melihat nama calon suaminya. Acaranya diselenggarakan dalam tempat dan waktu yang sama, serta bentuk undangan dan aromanya pun sama.
Rabb, apakah aku benar-benar harus mengakhiri permainanku hanya sampai disini? Di tangan sahabatku sendiri? Dan kenapa harus Yolanda? Tidak adakah wanita lain yang bisa menempati posisi itu? Apakah ini kuasa-Mu? Engkau Yang Maha Besar, segala puji bagi-Mu Rabb. Aku hanya bisa berserah diri. Aku harus menyelesaikan permainan ini dengan kemenangan untuk menggapai Ridho-Mu.
~ ~ ~ ~ ~
Rabb, dimana Bintangku? Apakah dia masih bersinar di langit-Mu? Apakah terangnya bisa sinari hari-hariku? Atau Kau akan beriku bintang yang lain?
Rabb, kenapa mereka seolah tertawa padaku? Bintang-bintang itu di jagad raya-Mu. Apakah aku telah melakukan kesalahan dalam menyelesaikan sisa permainan ini, sehingga aku patut mejadi yang terkalahkan?
Tidak Rabb, aku ikhlas dengan ini semua. Aku hanya mengharapkan keridhoan-Mu, bukan kemudhorotan-Mu. Aku telah kehabisan rasa yang orang sebut dengan nama sedih untuk saat ini. Mungkin semua telah habis, atau Kau telah menghapuskannya dari dada ini, dan menggantinya dengan kelapangan-Mu?
“Jully.. ini ada undangan buat kamu! Datang ya, minggu depan dia mau married dengan seorang gadis yang menurut dia cantik. Tapi bagiku, kaulah sahabat yang tercantik, dalam balutan hijabmu!”, Mungkin kata-kata itulah yang bisa aku kenang hingga saat ini. Miki mengucapkannya dengan hati-hati di hadapanku.
“Oh ya Jully…, minggu depan aku akan nikah!”, dan Yulanda dengan nada ringan juga menyampaikan amanat itu kepadaku pada pertemuan pertama kami setelah empat tahun berpisah.
Rabb, melalui karya cipta-Mu yang agung di jagad raya itu. Bintang-bintang di langit gelap-Mu, kaulah saksi atas keteguhan hatiku malam ini. Besok aku akan datang untuk mengakhiri sisa permainan ini, dan akan pulang dengan membawa keridhoan sang panciptamu.
Suara dering ponselku memecahkan kesunyian malam yang tenang nan damai ini.











Miki?
Kenapa ya kok malam-malam dia telfon? Angkat nggak ya?
Setelah beberapa detik tanpa kepastian, dan terus menggemakan ringtone-nya yang melantunkan lagu ‘Better Than Love’. Akhirnya aku memberikan jawaban atas dering ponselku yang sialan itu.
“Assalamu alaikum..?”
Dari seberang suaranya terkesan santai dan ringan.
“Waalaikum salam..!”
“Ada apa? Apa ada yang bisa aku bantu?”
“Ah, tidak. Aku sebelumnya minta maaf kalau menganggu kamu malam-malam. Aku tahu, sebenarnya tidak selayaknya aku menghubungi kamu larut malam seperti ini. Tapi aku hanya mau memastikan, apakah kamu yakin akan menghadiri undangan itu?”, Tanya Miki gelisah.
Dengan penuh keyakinan dan kepasrahan, aku menjawab pertanyaan itu dengan sejujur mungkin.
“Ah.. ya Insya Allah.. aku akan hadir. Karena mungkin hanya inilah kesempatan terakhirku agar dapat mengucapkan selamat dan mengikhlaskan segalanya..!”
~ ~ ~ ~ ~
Berkali-kali ringtone dari ponselku berdering, mengungkapkan kekesalannya karena tak kunjung juga ku beri jawaban. Aku yakin, pastilah orang yang berada di seberang telfon sana sangat kesal dan tidak sabar, karena telfonnya tak kunjung ku beri jawab.
Aku masih terpaku memandang pantulan bayang wajahku dalam cermin di meja rias. Aku tidak menyangka bahwa Rabb akan menunjukkan hidayah-Nya padaku. Jilbab inilah yang membawa aku dalam kedamaian dan ketenangan dalam menghadapi segala uji dan coba yang di hujahkan padaku. Mungkin hidayah ini tidak akan datang jika aku tidak pernah menjemputnya.
Empat tahun lalu, saat aku bertemu dengan seorang teman satu kos. Kami mulai mengadakan diskusi seputar islam, agama yang telah aku peluk semenjak aku dilahirkan ke dunia ini. Sebelumnya sama sekali tidak aku sadari akan ketidaktahuanku tentang ajarannya yang indah. Aku mulai tergugah untuk mulai mempelajari dan menjalaninya dengan sepenuh hati. Hijab inilah yang membuat aku bertahan hingga kini. Hijab ini yang membuat aku bisa mengatasi segala rasa kecewa atas perasaanku sendiri. Dan semua ini datangnya dari Dia. Allah Yang Esa.
Selama perjalanan menuju stasiun kota, aku hanya diam dalam diamku. Seolah aku baru saja melepaskan beban beribu-ribu ton dari pundakku. Ya, tiada lagi kesedihan, kekecewaan, dan penyesalan. Yang ada hanyalah keikhlasan dan ketenangan dalam jalani kehidupan selanjutnya.
Aku masih mengingat dengan detail, bagaimana aku memasuki altar gedung pertemuan yang di pakai sebagai tempat berlangsungnya pernikahan Yolanda. Suasanya terasa begitu damai. Setiap orang yang datang dengan membawa tujuannya masing-masing, atau hanya sekedar untuk mengucapkan selamat pada mempelai.
Acara resepsi ini, menggunakan nuansa warna biru. Entah aku tidak tahu, apakah itu warna yang sangat disukai Yoe atau...
Tapi mereka memang sama-sama suka dengan warna itu.
Satu-persatu aku lalui anak tangga menuju halaman belakang tempat resepsi dilangsungkan. Terdengar sayup-sayup suara piano dimainkan. Dan aku sangat mengenal permainan siapa itu.
Kekasihku mendekat padaku
Saat ini ku ingin
………………..
Andai saja aku pendampingmu
Bahagia pasti di hati
Rengkuh aku bersamamu
Malam ini milik berdua
Dan ku 'tlah jatuh cinta
Ku wanita dan engkau lelaki
Perasaanku berkata I'm falling in love
…………………..
Aku kembali menata hati dan pikiran ini. Sudah dapat aku pastikan bahwa dialah yang bersanding dengan Yolanda. Tapi aku tidak mau memenuhi pikiranku dengan berbagai macam pertanyaan yang menyerangku secara bertubi-tubi. Bagaimana bisa? Apa yang telah terjadi selam empat tahun? Dan apa maksud semua ini? Kenapa harus kamu, Yoe…?
Tidak, karena itu hanya akan menghancurkan semuanya. Hanya satu jawaban yang ingin aku dengar. Ini adalah kuasa Illahi.
………………..
Jatuh cinta ternyata memang indah
Apalagi bersamamu
Walau aku tak pasti bisa
Mendapatkan cintamu…
Aku memastikan bahwa, hijab ini akan memberikan kepercayaan diri yang lebih untukku. Aku mulai berjalan menuju pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada sahabat terdekatku selama tiga tahun di bangku SMA.
Aku tidak booleh mengacaukan semua ini. Dan aku sadar semuanya telah terjadi. Sekarang aku dalam perjalanan menuju masa depanku. Dan aku masih dalam diamku.
“Kamu baik-baik saja kan?”, Tanya kakakku sambil tetap mengemudikan mobilnya di keramaian lalu lintas jalanan kota Sidoarjo, yang beberapa jam lagi sudah aku tinggalkan.
“Ah.. ya, aku baik saja kok!”, jawabku ringan tanpa ekspresi.
Aku menyalakan multi player-ku untuk mengurangi sepi di hati ini.
Sayup-sayup tapi pasti suara dalam multi player itu melantunkan tembang yang sudah tidak sing lagi bagi telingaku.
Aku mentari...
Tapi tak menghangatkanmu
Aku pelangi...
Tak memberi warna di hidupmu
Aku sang bulan...
Tak menerangi malammu
Akulah Bintang...
Yang hilang di telan kegelapan
…………….
“Kapan kamu akan menyusul?”
“Ah.. apa maksud kakak? Apa menyusul apa?”, Konsentrasiku mendengarkan lagu dari multi playerku tiba-tiba terpecah.
“Ah dasar kamu ini. Ternyata aku baru sadar, kalau dedek kecilku ini sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Dan, kapan kamu akan mengikuti jejak sahabatmu Yolanda untuk ikut menikah?”
Pertanyaan itu yang akan sulit aku jawab. Tapi aku tidak pernah kehabisan kata untuk menjawabnya. Dasar aku badung.
“Insya Allah, kalau Allah sudah mengirimkan pangeran untukku! Dan.. aku tidak tahu kapan itu tepatnya? Mungkin lusa, akan dikirim lewat pos, wesel, atau… jatuh dari langit? He…he..he…?”
Kami tertawa bersama dalam ketengan hidup ini. Benar yang dia katakana. Aku tidak akan kembali menjadi muda lagi.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Menikmati suasana kota yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan Bandung. Mungkin aku akan sangat merindukan suasana seperti ini.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas senyum dan tatapan mata yang selama ini aku rindukan dalam khayal dan harapku. Namun, berdosa sekali aku jika aku masih berharap. Itu bukan lagi menjadi milikku. Dia sudah berada di sisi sahabatku, menemaninya selama masa hidupnya. Dia telah menemukan permaisurinya. Aku harus turut berbahagia, seharusnya.
Rabb, ternyata dia yang selama ini aku khayalkan dan aku harapkan. Sekarang dia teleh mendapatkan permaisurinya.
“Jully..,!”, Sambut Yoe dengan pelukan dan senyuman hangatnya.
“Selamat ya teman kecilku! Dulu kita dijuluki ‘The Couple of Crazy’, tapi sekarang kau sudah benar-benar menemukan your true love, yang telah menjadi pasanganmu. Menggantikan aku!”
Tersenyum..
Dan aku juga tidak tahu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya. Mungkin aku terlalu kejam kalau sempat terbersit dalam pikiranku, kau telah merebut cinta pertamaku. Tapi tidak Yoe, aku tahu ini semua takdir yang sudah menjadi garis hidup kita. Kau tidak pernah merebut dia dari aku. Tapi memang Rabb tidak menciptakan dia untukku.
“Oh ya, kenalin ini suamiku. Namanya Syafrie…!”
Ya benar Yoe, namanya memang Syafrie. Nama yang selama empat tahun ini memenuhi hati dan pikiranku. Nama yang pernah membuat aku merasakan kekecewaan dan kesedihan karena tidak tahu apa yang seharusnya terjadi.
Dia, yang telah resmi menjadi suami Yolanda sahabatku, berusaha mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tanganku. Tapi, aku hanya memberikan senyum dan menundukkan sedikit kepalaku sebagai rasa hormat. Dia bukan mahramku, aku tidak patut menjabat tangannya. Dia bukan suamiku. Dia hanya orang yang pernah singgah dalam hatiku. Untuk memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku.
“Oh maaf, aku tidak seharusnya menjabat tangan Anda. Aku Syafrie, suaminya Yolanda…!”, Suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku.
Kini, bukan hanya suara yang aku dengar. Tapi aku juga menatap wajah dan matanya.
Apakah dia tahu kalau aku TJ? TJ yang pernah dekat dengan dia walaupun hanya sebatas teman telfon? Aku berharap dia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu. Aku hanya mengharapkan ridho-Mu Rabb, bukan yang lain.
“Ah.. ya, aku… Jully.., sahabat Yoe waktu SMA! Ehm… Semoga kalian bahagia ya! Dan semoga cepat dikaruniai putra dan putri yang maniz.”
Ya, hanya kalimat itu yang dapat keluar dari lidahku yang keluh. Berbagai macam tanya yang meruak dalam pikiranku, yang ingin sekali aku utarakan, seketika membeku dalam otakku dan berubah menjadi seuntai ucapan selamat.
Mobil yang kami kendarai mulai memasuki pusat kota. Pada pertigaan ujung jalan, mobil akan belok ke arah kiri, memasuki halaman stasiun yang usianya sudah melebihi usiaku. Bangunannya yang khas Belanda pada masa penjajahan dahulu, masih tetap dipertahankan hingga kini. Inikah yang dinamankan sejarah? Bagaimana sejarahku kelak? Jadi aku harus menciptakan sejarahku sedari dini?
Aku kini berdiri di halaman parkir stasiun kota. Ku hirup dengan tenang udara kota kelahiranku, yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Aku ingin menggapai citaku. Aku telah menyelesaikan sisa permainanku dengan sangat cantik, dan tanpa melukai seorang pun.
“Dedek… ayo! Sebentar lagi keretanya datang!”
“Ya…, nanti Kakak cepet nyusul ke Bandung ya! Ajak mbak Nisa sama Nakula kecil berlibur ke sana!”
Tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirku. Tidak ada lagi rasa yang tersisa dalam hatiku. Dan tidak akan ada lagi harapan kosong yang akan membuat aku kecewa. Hanya masa depan yang nampak.
Sebentar lagi, kereta yang akan membawa aku menuju masa depan akan tiba. Lembaran baru akan aku torehi dengan tinta emasku yang terindah. Sebuah karya agung dan sejarah yang fenomenal akan menjadi cerita pengantar tidur untuk putra-putriku kelak.
“Dek… itu keretanya datang!”
“Ah iya Kak, aku pamit dulu! Aku akan merindukan masakan mama! Dan..kekocakan kamu! Assalamualaikum…!”, Sambil ku cium punggung tangan kanan kakakku.
Ya satu langkah lagi, aku akan meninggalkan kota udang bandeng ini.
“Jully.., tunggu sebentar!”, Teriak seorang pria yang sudah tidak asing lagi buatku.
Dia Miki.
“Ya ada apa?”
“Kamu mau pergi lagi? Menghilang lagi tanpa jejak seperti empat tahun lalu? Tapi kali ini aku tidak akan mencegah kepergianmu kok, tenang aja!”, Dia berusaha menata napasnya yang kacau karena lari-lari.
“Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Aku akan menunggu kedatanganmu dengan membawa gelar master, ahli Biologi yang sangat aku kagumi! Dan setelah itu, kau tidak boleh menolak permintaanku, agar kau manjadi permaisuriku, menjadi isteriku, bukan untuk menjadi pacarku, seperti yang pernah di harapkan Bintangmu empat tahun lalu, sebelum kau akhirnya pergi!!”, Dia tersenyum puas.
Tidak ada lagi yang dapat aku ucapkan, atas permintaan dia. Biarlah Allah yang menjawabnya.
Dan benar apa yang Miki katakan. Aku pergi meninggalkan cinta pertamaku, karena dia mengharapkan agar aku menjadi kekasihnya, bukan sebagai isteri yang diridhoi-Nya.
~ ~ ~ ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar