Kamis, 20 Mei 2010

Mr. P VS Mrs. V

Beberapa bungkus snack dari berbagai strata ‘elit’ -merek dan jenis-, mulai dari kacang-kacangan yang dijual murah, sampai ke permen cokelat rendah kalori berserakan tergeletak begitu saja, tak berirama. Dilengkapi dengan ceceran kaleng-kaleng kosong soft drink, mulai dari yang kandungan alkoholnya ‘nol persen’, sampai ke ‘yang mematikan’. Kepulan asap rokok sisa-sisa ‘tamu’ semalam, masih jelas terasa menyelimuti ruangan yang berlantai marmer itu. Kegetiran yang mencekam semakin jelas tergambar. Guratan sisa-sisa buih kopi hitam yang masih melekat dalam sepasang cangkir, tertimpa oleh putung dan abu rokok dengan posisi buang yang ‘memaksa’.
Seolah mereka ingin berteriak dan berdentum mengorasikan kejengahan yang terjadi selama ini. Dinding ruangan yang memancarkan pendar warna biru muda, seolah menyimpan tanya akan sejarah ‘miring’ yang terpendam. Atap kamar yang mulai memudar catnya, diselimuti oleh debu-debu halus pada setiap depa. Seolah ingin runtuh tak kuasa menahan perih akan sebuah peradaban yang mulai lengser dimakan keangkuhan. Sebagai akibat dari terkikisnya arti sebuah kebenaran. Dengan alasan modernisme, ‘komoditi’, serta sebuah investasi kolosal.
Semua tersirat dengan sangat gamblangnya, jika saja kita mau membuka mata, telinga, hati, dan ‘berfikir’.
Kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, kejujuran dan kesaksian yang kan terucap. Kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, tabir kemunafikan dan keangkuhan akan terkuak. Dan kalau saja ‘mereka’ mampu berkata, maka takkan ada alasan modernisme, komoditi, dan investasi manipulatif yang mereka jadikan kiblat dan pedoman kenistaan penyebab runtuhnya masa depan umat.
Di tengah malam yang dingin dan mencekam, ‘sepasang’ ini tertunduk dalam kesesakan peliknya dunia. Mereka protes dengan sikap dan tingkah pemiliknya masing-masing. Mungkin kesadaran yang telah membawa mereka untuk bangkit. Mungkin juga karena kejengahan akan aktifitas yang monoton, yang membuat mereka berkoar menuntut keadilan. Tapi semoga saja alasan pertama yang membuat ‘sepasang’ ini terbangun dari mimpi dan angan gelapnya yang sangat manipulatif bagi masa depan.
Mrs. V menggeliat terjaga dari tidurnya. Ruangan yang penat membuat ia tak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak. Suasana ruang kamar yang pengap, karena desakan asap rokok yang berputar terbawa sirkulasi AC, seolah menggurat dalam tiap tarikan napasnya.
“Ahhh… dasar perempuan gila. Nggak waras! Edhan...!! Wadhon ora weru adat, ora nduwe rego!!!”, teriak Mrs. V pada pemiliknya.
Mrs. V diam sejenak, merenung, dan berpikir.
“Tapi… sebenarnya yang dikasih harga jual itu ‘aku’ atau dia ya? Kalau di pikir-pikir… selama ini aku yang dieksploitasi untuk diperdagangkan. Sementara dia, cuma ongkang-ongkang kaki menerima uang pembayaran hasil dari kerja kerasku!”, pekik Mrs, V kesal.
Mendengar umpatan Mrs. V yang diucapkan secara bertubi-tubi tersebut, membuat Mr. P ikut terjaga dari tidurnya yang nampak tidak terlalu peduli dengan suasana kamar.
“Huahh…”, Mr. P menguap sambil menggeliat, untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
“Huh…”, cibir Mrs. V yang melihat Mr. P ikut terbangun.
Sepasang itu saling terdiam sejenak. Suasana kamar yang terkesan jorok dan kotor, membuat masing-masing dari mereka semakin jengah.
“Puas kau sudah mengambil segalanya???”, tanya Mrs. V dengan nada tinggi, berusaha membuka pembicaraan dengan Mr. P yang hanya duduk terdiam disampingnya.
“Hah… aneh sekali sampeyan ini Yuk…? Tadi aku dengar sampeyan mengumpat, mencibir pemilik sampeyan yang… ayu itu…!”, timpal Mr. P menggoda, sambil memperhatikan wajah majikan Mrs. V yang masih terbuai dengan mimpinya.
“Lha kok sekarang jadi salahin aku toh? Piye sampeyan itu?”, lanjut Mr. P.
“Ah… nggak tahulah. Pokoknya kalian berdua memang patut disalahkan. Karena kalian, aku jadi kehilangan kesucianku sebagai makhluk ciptaan Allah yang patut dan wajib dijaga serta dilindungi hak-hak sesuai ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan, sebagai cermin dari peradaban bangsa dan umat yang beradap! Aku juga telah kehilangan harga diri dan masa depanku!”, Mrs. V berkoar dengan nada yang meluap-luap.
“Hah…???? Kok tumben bisa ngomong se-diplomatis itu? Biasanya cuma tahu gimana caranya melakukan transaksi yang menguntungkan dan pintar-pintarnya tawar-menawar harga dengan ‘konsumen’!”, timpal Mr. P dengan datar.
“Jadi kalian-‘kaum buaya’-pikir, aku dan makhluk sebangsaku ini bisanya hanya bertransaksi syahwat dengan golongan kalian???? Asal kalian tahu, sekarang memang susah mengajukan gugatan ke pengadilan. Bahkan memang nggak mungkin aku lakukan, percuma. Nanti malah kaumku yang dipenjarakan dengan dalih kami sebagai makhluk kotor ‘penggugah syahwat’ bagi kaum kalian. Karena kalian punya uang, karena kalian punya kekuasaan, dan karena kalian punya kekuatan, yang akan menopang segala bentuk kesalahan kalian di mata hukum. Tapi nanti di akhirat, di pengadilan Allah, kalian pasti tidak akan bisa ngelak! Titik!!!”, jawab Mrs. V ketus.
“Lha… apalagi itu??? Tak cukup mengumpat, sekarang membahas masalah hukum dan keadilan! Pakek bawa-bawa Allah segala! Bukankah ini semua sudah menjadi pilihan Sampeyan, memilih menjual diri sebagai profesi? Iya toh? Bahkan kalian sendiri yang memberikan tawaran harga miring kepada kami, tak jarang juga ‘gratisan’, walaupun kami tidak sedang membutuhkan! Kalau sudah begini siapa yang salah?”, balas Mr. P dengan geram.
Mereka terdiam sejenak, dan nampak terlihat tengah menarik napas panjang masing-masing. Berusaha mencoba memburu oksigen bersih yang masih tersisa, namun tak kunjung jua dapat. Kini yang ada hanya aroma alkohol dan asap rokok, nggak pernah lengser dari daftar umpatan di hati mereka masing-masing.
Entah apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Tak selang beberapa lama, Mr. P melihat guratan kesedihan dan keputusasaan dalam wajah Mrs. V.
“Oalah Yuk… kok pakek acara nangis segala? Aduhh Gusti… kepriye iki? Yuuukk… aku minta maaf kalau mungkin kata-kataku tadi menyakiti hati Sampeyan”, ungkap Mr. P mengibah.
“A… aku… huuukhh.. huukkhh…”, Mrs. V terisak dalam tangisnya yang semakin menjadi.
“A.. a…ak..ku.. bingung harus gimana lagi? Dari tadi Sampeyan menyalahkan aku. Padahal aku ini ndak tahu apa-apa. Aku cuma sekedar mengikuti perintah majikan, dia yang mengendalikan semuanya. Aku ini hanya makhluk lemah yang ditakdirkan untuk mengikuti pemilikku, kemana pun dia melangkah! Aku yang bekerja, dia yang menerima upah! Aku dijadikan komoditi, dieksploitasi habis-habisan, digunakan sebagai investasi ‘masa depan’ katanya, sebagai ganjal perut katanya!”, ungkap Mrs. V masih dengan isak tangisnya yang tak kunjung redah.
“Maaf Yukkk… aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya tidak terima jika selama ini kaumku selalu disalahkan dalam hal ini. Mereka berasumsi bahwa kaumku adalah ‘penjahat cinta’ yang bisanya cuma memanipulasi dan memperdaya kaum kalian. Padahal kami tidak akan berbuat nista jika tidak ada faktor penyebabnya! Kaum kami juga sama halnya dengan kaum Sampeyan. Lemah dan tak lepas dari dosa. Tapi hati ini juga lama-lama akan rapuh jika terus-menerus digerogoti dan diiming-imingi dengan sesuatu yang…”, Mr. P tak dapat melanjutkan spekulasinya, takut akan menimbulkan masalah kembali.
“Kenapa? Apa penyebabnya? Kenapa ndak di lanjutin? Aku ingin tahu!”, desak Mrs. V.
“Lihatlah diluar sana. Banyak mereka dari kaummu yang ‘bertelanjang muka’ memamerkan aurat. Entah mereka sadari atau tidak, kalau perbuatan mereka itu dapat menimbulkan dilema yang berkepanjangan, khususnya bagi masa depan generasi muda. Entahlah siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Mereka lakukan semua itu dengan alasan ‘perut’ dan menyambung hidup. Sementara kami, karena ada kesempatan dan tawaran, tak menutup kemungkinan kami pun terjerat! Aahh… tak tahulah Yukk…”, Mr. P mengisap dalam-dalam sisa rokok yang masih diapit kuat oleh kedua jari tangan kanannya.
“Uhhh…”, Mrs. V menarik napas panjang, namun serasa sesak.
“Yaampun… Sampeyan itu mbok ya kira-kira. Udah tahu ini kamar ber-AC malah hisap rokok seenak udhel-nya!”, cibir Mrs. V kesal.
Tanpa berkomentar, Mr. P langsung mematikan rokoknya.
“Maaf Yukkk… saya kalau sedang frustasi suka nggak kontrol kalau sama rokok!”
“Ahhh… capek aku Bang! Sampai kapan aku dieksploitasi seperti ini? Dikomersilkan? Padahal, seharusnya keberadaanku ini sangat dimuliakan. Tanpa adanya aku, takkan ada generasi muda yang lahir. Tanpa adanya aku, takkan ada tempat untuk kaum Sampeyan bersandar melepas lelah! Kenapa perut jadi alasan? Sebenarnya hidup itu untuk makan, apa makan untuk hidup sih?”
“Ha…ha…ha…”, Mr. P tertawa terbahak mendengar keluhan Mrs. V.
“Nah lho malah ketawa! Aku ini serius Bang! Capek lama-lama kayak gini. Hidup nggak menentu. Masa depan nggak jelas. Alah aku lama-lama jadi jengah juga sama janji-janji pemerintah kita!!!”
“Lho apa hubungannya dengan pemerintahan kita?”, tanya Mr. P heran.
“Iya.. pemilu yang lalu aku memilih dia sebagai presiden, karena aku percaya dan yakin akan janji-jajinya saat kampanye. Berharap agar aku bisa bebas dan tidak diperbudak seperti ini. Bisa makan dan menikmati hidup tanpa perlu menjual diri. Sejahteralah pokoknya. Tapi mana??? Sampai masa jabatannya hampir habis juga nggak kunjung terealisasi. Yang ada mereka dan para antek-anteknya malah ikut menikmati uang hasil kerja kerasku.”
“Lho kok bisa Yukk?”, Tanya Mr. P penasaran.
“Lha iya. Apa Sampeyan pikir kami ini tidak ditarik pajak apa? Nggak ada yang gratis di dunia ini! Begitu kata kapitalisme.”
“Ooo… begitu ya? Aku ndak tahu! Tak pikir selama ini..”, Mr. P tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
”Sudah lah Yuk, ndak usah diambil pusing. Kita ini hidup cuma sekali, jangan dibikin susah. Jalani saja apa adanya. Toh selama ini Sampeyan juga menikmati pekerjaan ini kan? Ndak usah sungkan, tadi sudah terbukti kan sama aku?”, ungkap Mr. P mencoba menggoda Mrs. V yang nampak jengah.
“Dasar ‘kucing garong’!”, timpal Mrs. V dengan sewot.
Sepasang ini masih larut dalam keterpurukan dan dilemma kehidupan masing-masing. Kamar yang pengap ini, menjadi saksi bisu perjalanan mereka dalam menyelesaikan permainan kehidupan.
“Yuk, sebentar lagi kan Pemilu akan berlangsung lagi, apa harapan Sampeyan kedepan?”, Mr. P berusaha membuka percakapan.
“Harapan??? Cuihhh… gombal! Masak iya makhluk seperti kita masih punya kesempatan untuk menaruh harapan? Jangan-jangan, hanya sekedar harapan, tanpa ada kelanjutan real-nya?”, tungkas Mrs. V sinis.
“Ya… siapa tahu di Negara ‘Kelinci’ tempat kita dilahirkan, hidup, dan mungkin sampai mati ini, akan terjadi perubahan dan akan membebaskan kita dari belenggu kebobrokan ini?” seru Mr. P.
“Nggak akan pernah berubah menjadi lebih baik, jika sistemnya tidak diganti! Titik!”, sergah Mrs. V.
“Nah lho, apalagi itu Yuk… memangnya kenapa dengan system di Negara kita? Bukankah Negara ‘Kelinci’ kita tercinta ini merupakan Negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak dan suara rakyat? Kurang apa lagi coba? Kalau system diganti lagi, nanti yang ada malah kacau kayak masa sebelum reformasi itu? Lagi pula mau diganti dengan apa? Aneh-aneh saja Sampeyan ini!”
“Demokrasi apa? Bulshittt dengan demokrasi! Suara rakyat yang mana? Rakyat yang berkantong tebal? Pejabat ahli korup? Pemimpin yang cuma sebagai simbolisme semata? Gak ada bedanya dengan Hittler doonk! Apa aku ini bukan rakyat? Sudah berapa kali aku teriak menuntut kebebasan, tapi tak digubris? Apa ini yang dinamakan demokrasi? Yang ada aku malu sendiri malah. Coba pikir. Kita ini sudah enam puluh tiga tahun merdeka, tapi masih juga berteriak meminta kebebasan? Lalu apa makna merdeka waktu itu? Jangan-jangan merdeka untuk kapitalisme?”, bantah Mts. V dengan meluap-luap.
“Ya sudah aku ngalah. Lha terus maunya gimana?”, lanjut Mr. P.
“Masak kita kalah dengan Negara tetangga? Padahal kita berjuang bersama-sama. Mulai dari nol. Tapi apa hasilnya? Kita malah tertinggal jauh. Aku ingin Negara ‘Kelinci’ ini seperti Negara tetangga kita, ‘Negara Pembebasan’. Dia telah berani mengambil langkah untuk keluar dari keterpurukan dan belenggu kemiskinan yang menjerat. Masalah yang mereka hadapi tidak jauh beda dengan masalah yang menimpa Negara kita. Lalu kenapa kita tidak mau bergabung dengan mereka dan Negara-negara islam yang lain?”, berontak Mrs. V.
“Negara Pembebasan??? Kok Sampeyan ambil Negara itu sebagai contoh dan perbandingan dengan Negara kita? Ya jauh lah!”, tungkas Mr. P.
“Nah karena itu aku mau tanya. Kenapa mereka bisa bangkit, sedangkan kita tidak bisa? Mereka berani bersuara, kenapa Negara kita tidak? Ada apa dengan rakyat dan pemimpin kita?”
“Ahh.. kenapa ya? Aku nggak tahu banyak tentang politik Yuk…”
“Seperti yang aku ungkapkan tadi. Ini masalah system. Negara Pembebasan dulu juga pernah menerapkan system demokrasi seperti Negara kita saat ini. Tapi apa, sama dengan kita, nggak ada kemajuan. Yang ada malah mereka semakin terpuruk, korupsi dimana-mana, hutang bertambah, dengan dalih bantuan luar negeri, kemiskinan meningkat, dan para wanitanya dieksploitasi, entah sebagai TKW atapun sebagai… pelacur seperti majikanku dengan memanfaatkan keberadaanku. Tapi kini, mereka berhasil bangkit dan lahir kembali, berani melawan kebathilan, menginginkan system yang mereka anut dirombak dan diganti sepenuhnya.”
“Memangnya sekarang Negara Impian menganut system apa Yuk?”, tanya Mr. P semakin penasaran.
“Olalah… kok Sampeyan ini ‘lola’ banget sih? Makanya ikuti perkembangan dunia, jangan cuma memuaskan syahwat saja! Kalau sudah kayak gini? Apa ndak malu? ‘Big Bos’ seperti Sampeyan, dikalahkan oleh ‘pelacur’ seperti aku.”
“Bukan aku yang Big Bos, tapi tuanku!”, geram Mr. P.
“Aku ini ndak pernah dikasih jejelan yang kayak ‘gitu-gitu’ sama tuanku yang bejat ini. Dia tahunya hanya urusi masalah-masalah kayak ‘yang nggak penting-penting getu’. Tuanku tahunya cuma, tanda tangan di selembar kertas, dapat uang, foya-foya, dan ‘jajan’ seperti saat ini, sampe bisa ketemu Sampeyan. Udah jelasin aja apa maksudnya tadi??? Biar tuanku yang bodoh, tapi aku ndak mau ikut bodoh!”, papar Mr. P.
“Pantesan, ngomong aja nggak beraturan gitu! Kayak orang ndak pernah sekolah! Yaudah aku jelasin, Negara Pembebasan beserta Negara-negara islam lainnya, kini sedang berjuang untuk kembali kepada syariat islam. Mereka gunakan hukum Allah sebagai basis dalam membangun peradaban. Mereka melanjutkan kehidupan dengan system syariat, bukan undang-undang pidana dan perdata turunan kolonialisme yang terbukti malah merugikan masyarakat!”, tegas Mrs. V.
“Melanjutkan kehidupan syariat? Apa itu Yukk??? Aku baru dengar sekarang?”, Tanya Mr. P dengan bingung.
“Okey aku jelasin biar mata Sampeyan terbuka. Bisa diartikan sebagai satu-satunya system politik islam yang sah. Merupakan pemerintahan berdasarkan pada hukum Syari’ah (Islam) dan dijalankan melalui kepemimpinan yang dipilih oleh umat islam. Hanya ada satu pemerintahan islam yang berdiri di seluruh dunia. Dan menegakkannya adalah kewajiban bagi seluruh umat islam. Ingat WAJIBBB!!!! Inilah sebenar-benarnya system, bukan demokrasi yang dijalankan oleh Negara ‘Kelinci’ kita saat ini!”
“Tidak akan ada wanita dan anak-anak yang tertindas. Tak perlu lagi kita bentuk gerakan feminisme, mengorasikan emansipasi wanita. Karena dalam islam wanita sangat dimuliakan dan dijaga kesuciannya. Tidak akan ada lagi yang ‘bertelanjang muka’ seperti yang Sampeyan keluhkan tadi. Karena di dalam islam, cara berpakaian pun ditentukan, diatur, ndak sembarangan lho! Tidak akan ada lagi korupsi, tidak ada lagi perzinahan, tidak ada lagi eksploitasi, dan tidak ada lagi kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berdampingan. Tidak ada perselisihan antar pemeluk agama, suku, dan ras. Karena islam identik dengan keberagaman dan sangat fleksibel. Lalu kenapa Negara ‘Kelinci’ kita ini tidak dapat seperti mereka?”, lanjut Mrs. V.
“Membentuk Negara islam? Mustahil Yukkk!! Jangan mengada-ada. Negara Impian saja mendeklarasikan lima agama sekaligus. Lalu bagaimana bisa? Bagaimana nasib pemeluk agama selain islam? Dipaksa masuk islam begitu? Melangar HAM donk!”, bantah Mr. P.
“Tadi sudah saya bilang. Islam indentik dengan keberagaman!!! Dalam hal ini, mereka yang “menerima” konsep system pemerintahan syariat tidak serta merta membuat mereka wajib berkomitmen secara penuh ataupun menyetujui seluruh argumentasi syariah -yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist- untuk memperjuangkan Negara syariat tersebut. Karena argumentasi syariah hanya berlaku untuk umat Islam dan tidak berlaku bagi non-muslim. Mereka bisa memilih sikap pasif terhadap islam -dalam hal ini adalah tidak perlu berkomitmen pada konsep yang mendasari dan menjadi tujuan pendirian Negara syariat itu sendiri!”, Mrs. V mengehala napas panjang.
“Dan hukum islam sendiri bersifat dualistic, terdiri atas hukum public -setiap orang harus mematuhi-dan hukum komunal-memberikan otonomi kepada masyarakat yang berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada hukum yang berlaku di dalam agamanya”, lanjutnya.
“Wahhh… berat Yukkk…! Resikonya besar. Kita tidak sanggup menerima dampak yang akan terjadi. Sangat mungkin jika Negara kita akan diembargo (blockade) baik secara ekonomi, politik, maupun pemikiran oleh Negara lain, seperti yang terjadi di Negara tetangga itu dan Negara-negara islam saat ini. Selain itu, perang fisik juga takkan terelakkan lagi!”, tungkas Mr. P dengan nada kawatir.
“Memang!!! Karena berdirinya syariat islam merupakan awal dari kehancuran kapitalisme modern-yang membuat kehidupan kita nggak jelas kayak sekarang-yang diusung oleh barat karena menguntungkan mereka. Hal ini akan menimbulkan berbagai macam perlawanan dari mereka beserta ‘antek-anteknya’ seperti yang Sampeyan sebutkan tadi. Bisa dibayangkan, bahwa mereka akan membuat pakta militer untuk menghancurkan syariat, tanpa melihat lagi keagenan mereka. Apakah menjadi agen Negara A atau Negara B. Dan yang paling ekstrim yang sangat mungkin akan terjadi yakni, mereka akan menggunakan apa yang disebut sebagai PBB untuk mengeluarkan Resolusi agar bisa mengumpulkan berbagai Negara guna memerangi system syariat ini. Tuduhannya bisa macam-macam. Bisa jadi mereka menyatakan tuduhan kita mengancam perdamaian dan keamanan dunia, menurut versi mereka. Yaaa… semacam isu perkumpulan Negara ‘terorisme’ gitu. Gila nggak???”, papar Mrs. V.
Mr. P hanya bisa menelan ludah mendengar semua penuturan yang diucapkan oleh Mrs. V. Dalam benaknya dia berfikir, perang dunia ketiga akan terjadi.
“Negara tetangga berhasil melewati semua itu. Kenapa kita tidak? Allah selalu bersama orang-orang yang berjuang di jalannya. Kenapa harus takut kelaparan? Bukankah kekayaan alam kita begitu berlimpah? Dalam system islam, semua kekayaan alam merupakan milik publik, bukan milik pribadi seperti saat ini. Aku ingin merdeka, aku ingin bebas!!!!”, teriak Mrs. V yang jengah melihat Mr. P hanya terdiam.
“Benarkah Yukkk??? Apakah ini yang dinamakan berjihad di jalan Allah. Memperjuangkan kemerdekaan umat dan mengembalikan kepada syariah? Lalu… kenapa pemerintahan kita tidak mau bergabung? Padahal mayoritas Negara kita, adalah muslim”, tanya Mr. P dengan ragu.
“Benar itu. Seandainya aku bisa lepas dari belengu pemilikku ini, aku akan ikut berjihad bersama mereka. Tapi… aku Cuma budak bagi pemilikku!”, lanjut Mrs. V dengan lemah.
“Oalah… Yukkk… kok Sampeyan malah jadi puus asa begitu? Ayo semangatttt!!!! MERDEKA!!!! Ehhh salah…Allahhu Akbar…!”, teriak Mr. P.
Belum sempat mereka wujudkan harapan dan salurkan hasrat yang menggelora untuk menuju masa depan, fakta berkata lain. Matahari yang mulai menyelinap dari celah-celah korden, seolah memberi harapan esok yang cerah, masa depan yang indah, kehidupan yang sejahtera, bak menguap olah teriknya sang surya.
Pemilik Mr. P menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Dia bersandar di tempat tidur untuk menenggak alcohol yang masih tersisa.
Sementara di sisi lain, pemilik Mrs. V bergegas menuju kamar mandi. Ia pikir itu merupakan jalan membersihkan diri dari nista semalam. Hapuskan idealisme yang membelenggu, menurut pemikirannya.
Mimpi hanyalah mimpi. Harapan tinggal harapan. Jika hanya satu orang yang berkehendak, sementara seribu yang lain bersikap pesimis dan skeptis, maka mimpi dan harapan takkan pernah terwujud.
Mrs. V dan Mr. P hanyalah satu diantara sekian banyak makhluk yang membutuhkan dukungan dan keyakinan dalam membangun sebuah peradaban. Apalah arti kemerdekaan bagi mereka, jika nasib dan kehidupan tak kunjung berubah menuju arah yang lebih baik. Mereka hanya kaum yang mengikuti perintah dan permintaan pemiliknya. Mereka tak punya hak untuk menolak apalagi mengambil sebuah keputusan untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Mereka hanya satu dari sekian banyak bentuk penolakan. Namun apalah daya jika manusianya tak mau berjalan menuju arah yang terang dan mengoarkan kebenaran. Tidak malukah kita terhadap Mr. P dan Mrs. V? Mereka bukan siapa-siapa, tapi mereka masih mau bersusah payah untuk berpikir dan bersuara. Sebagai manusia, makhluk yang paling sempurna? Kemana kita selama ini? Kaum yang kuat dan berkuasalah yang akan menjadi diktator dalam kehidupan, yang sarat akan demokrasi dan kebebasan tak terkontrol ini. Negara ‘Kelinci’ hanyalah satu dari sekian banyak Negara yang bungkam terhadap kebenaran. Karena mereka takut akan embargo dan ancaman perang dari penguasa kafir adidaya. Kita hanya ‘boneka’ bagi mereka penguasa rezim kapitalisme.
Mr. P kembali menjalani kehidupannya sebagai seorang penjelajah syahwat. Mrs. V masih setia dengan majikannya dalam bertransaksi mencari sebulir nasi. Dan Negara ‘Kelinci’ yang mereka tempati ini, tetap akan menyambut pemilu mendatang beserta janji-janji manis yang melenakan telinga, sekedar untuk menghibur diri, mengenang jasa, mencari suara. Setelah itu, semua akan kembali seperti semula. Korupsi tetap berjalan. Eksploitasi terus berlanjut. Janji palsu terus bergulir. Dengan alasan demokrasi dan manivestasi diri.
~ ~ ~ ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar